Perjalanan di Stone Town Zanzibar belum selesai. Ada satu tempat lagi yang mesti dikunjungi di hari terakhir di pulau yang terkenal dengan rempah-rempahnya ini. Tempat ini adalah ‘Sultan’s Palace” yang saat ini difungsikan menjadi museum.
Sekilas, gedung megah yang warnanya dicat putih ini tampak sedikit kusam dan kurang terurus, sama seperti sebagian besar gedung dan bangunan tua yang ada di Stone Town. Lokasinya tidak jauh dari Beit al Ajaib atau House of Wonder di Mizingani Road yang terletak di tepi pantai. Angin sepoi-sepoi menemani perjalanan saya menuju Istana Sultan Zanzibar yang dibangun di akhir abad ke-19 ini.
“The Palace Museum”, sebuah papan kayu berwarna cokelat tua terpampang gagah di atas pintu masuknya. Di beranda, seorang pemandu museum dengan cekatan menyambut dan segera siap mengantar sambil bercerita panjang lebar tentang sejarah istana yang sempat menjadi kediaman resmi para sultan Zanzibar sampai tahun 1964, ketika terjadi revolusi dan sultan Jamshid digulingkan dari singgasananya. Sejak itu istana ini sempat dinamakan sebagai “Istana Rakyat” dan kemudian sejak 1994 diubah fungsinya menjadi museum.
“Ukoowa Al Busaidi wa Zanzibar na Oman” atau “
Al Busaidi Dynasty of Zanzibar and Oman”, yang berupa silsilah para Sultan Zanzibar lengkap dengan nama dan gambar para sultan sejak Sultan Said bin Sultan sampai Sultan Jamshid menyambut kami di lantai dasar istana ini.
Masih di lantai yang sama, juga dipamerkan lukisan besar Sultan Said Bin Sultan, lambang Kerajaan Zanzibar yang bergambar burung elang dan jangkar, dan di depan anak tangga yang menuju ke lantai atas ada sebuah meriam kecil yang terbuat dari kuningan.
Walaupun telah menjadi saksi sejarah panjang pergolakan politik, baik semasa Kesultanan Zanzibar maupun dalam masa jajahan Inggris dan jaman kemerdekaan, istana ini tetap utuh dan dapat dinikmati sisa-sisa kemegahannya termasuk perabotan, sofa, meja makan untuk pesta, dan juga barang-barang pribadi sultan.
Yang menjadi daya tarik utama istana museum ini adalah sebuah ruangan di lantai atas yang didedikasikan untuk
Putri Salma. Sang putri adalah anak terakhir alias ke-36 dari Sultan pertama Zanzibar,
Sultan Said Bin Sultan. Sang putri menjadi terkenal karena kabur dengan orang Jerman pada tahun 1866 dan kemudian memeluk agama Kristen dan mengubah namanya menjadi
Emily Ruete.
Di kamar ini dipamerkan foto-foto Putri Salma, baik ketika masih mejadi putri sultan maupun kemudian setelah menjadi Frau Ruete dan tinggal di Hamburg. Selain itu, ada juga barang-barang pribadi seperti perabotan, surat-surat, dan tempat tidur sang putri. Sebuah kertas putih dalam bahasa Inggris dan Swahili menceritakan secara singkat kisah hidup sang putri yang tragis ini.
Dikisahkan bahwa Putri Salma atau dalam bahasa Swahili disebut
Sayyida Salme adalah putri Sultan Said Bin Sultan dari selir yang bernama Jiffidan yang berasal dari Kaukasus, Russia bagian Selatan dan dilahirkan pada 1844 di
Istana Mtoni, yang letaknya sekitar 7 km di luar Stone Town di mana sang putri menghabiskan masa kecilnya yang bahagia.
Pada 1851, Putri Salma pindah ke istana di Stone Town yang disebuti
Beit Al Sahil atau Istana di Tepi Pantai. Di tempat ini dia belajar membaca dan menulis secara rahasia dengan menyalin kaligrafi ayat-ayat suci Al-Quran tulang belikat unta. Pada masa itu biasanya hanya anak laki-laki yang diajarkan membaca dan menulis.
Ayah dan ibunya kemudian meninggal ketika sang putri baru mencapai usia remaja dan sang kakaklah yang diangkat menjadi sultan. Singkat cerita pada 1866 sang putri hamil di luar nikah dengan kekasihnya seorang pedagang yang berasal dari Jerman. Akhirnya sang putri melarikan diri dengan kapal Inggris menuju Aden dan kemudian memeluk agama Kristen dan menikah di sana pada Mei 1867. Sebelumnya sang putri telah melahirkan anak pertamanya, Heinrich, di Aden pada Desember 1866.
Lihat Travel Story Selengkapnya