Selesai sejenak merenung di “Kumbukumbu Ya Historia Ya Watumwa” atau Slaves Monument, walking tour dilanjutkan, tentunya dengan jalan kaki, menjelajah lorong dan jalan-jalan sempit nan eksotis di Stone Town.
Namun, bangunan pasar tidak sanggup lagi menampung kegiatan ekonomi dan jual beli sehingga lapak-lapak pun meluas di jalan-jalan sekitarnya. Segalanya ada disini, baik kurma, sayur, dan juga buah-buahan tropis. Bahkan ada juga durian Zanzibar dan peci khas Zanzibar yang disebut “kofiah”.
Dari Darajani Market, langlang di Stone Town terus dilanjutkan melewati jalan dan lorong kecil yang memberikan nuansa penuh mistis. Rumah-dan bangunan tua dengan pintu Zanzibar yang khas dimana pengaruh Arab dan India saling bertaut. Masjid tua, kuil Hidhu , warung kecil dan toko souvenir baris- berbaris dalam ketidakaturan yang memberikan kejutan-kejutan yang nikmat.
Bahkan jalan di lorong sempit ini pun memberikan identitasnya dengan jelas.
11
Tutup selokan alias “manhole” yang berbentuk bulat bertuliskan “Stone Town Conservation amd Development Authority, Zanzibar”, dengan logo bergambar kubah masjid menaungi menara dan lonceng gereja menunjukan nuansa tersendiri akan sejarah Stone Town dan Zanzibar yang panjang dan berliku.
Di salah satu lorong yang sempit di Stone Town, sempat juga disaksikan dua wanita muslimah dengan hijabnya yang berwarna-warni ceriah, kuning cerah dan biru muda, berjalan kaki di atas gang yang sedikit becek. Tetapi, walau terasa kumuh dan sedikit menyeramkan, perjalanan menembus lorong waktu ini terasa kian mengasyikan.