Siang , 19 April 2015 merupakan hari terakhir pergelaran Teater koma dalam produksi ke 139 yang mementaskan kisah klasik legenda dari negri tirai bambu, yaitu Opera Ular Putih.Walau belum memiliki tiket, saya nekat go show ke Graha Bakti udaya di Taman Ismail Marzuki dan akhirnya masih bisa menonton dengan menggunakan tiket yang dijual pada detik-detik terakhir.
“Bumi Harus Bersih, Langit Harus Suci”, demikian kalimat pembuka pertunjukan yang sangat kental dengan sentuhan budaya Cina itu.Dikisahkan dua kakak beradik Siluman Ular Putih dan Siluman Ular Hijau bertapa hingga ratusan atau bahkan ribuan tahun dengan cita-cita Si Ular Putih untuk menjadi manusia, sementara sang adik tidak mempunyai pilihan lain selain mengikutinya saja.
Tidak ada kejutan yang berarti dalam alur cerita karena kisah ini pernah juga populer dalam film seri yang ditayangkan di salah satu TV swasta pada pertengahan tahun 1990an.Yang membedakan barangkalai hanya nama-namanya saja yang menggunaan versi Mandarin atau Hokian sehingan Si Ular Putih yang pernama Pai Siu Chen kali ini Bernama Peh Ti Nio sedangkan adiknya tetap bernama Siow Ching.
Kemasan cerita yang menarik ini juga dilengkapi dengan tarian serta lagu dan dialog dengan lirik yang penuh dengan kekinian. Penampilan sang dalang yang menganggap Peh Ti Nio dan Ko Han Bun sebagai wayang serta dialog lucu, segara, dan kadang-kadang menggelitik membuat penonton sesekali tertawa terpingkal-pingkal.
Kisah mengalir sebagaimana diskenariokan,Si Ular Putih dan adiknya ahirnya menjelma menjadi manusia dan kemudian berkenalan dengan pemuda Ko Han Bun di atas perahu.Mereka akhirnya menikah, sang istri hamil dan kemudian memiliki bayi lelaki. Namun pernikahan ini tidak berjalan mulus karena gangguan pendeta Bahai yang selalu ingin mengungkap jatidir Peh Ti Nio sebagai siluman.
Pertunjukan berjalan sekitar 4 jam dengan diselingi istirahat sekitar 15 menit saja. Namun, semua penonton seakan-akan ikut tersihir pesoan siluman ular sehingga duduk dengan rapih hingga akhir pertunjukan ketika semua pemain dan pendukun naik ke panggung untuk memberi penghormatan.
Selain kostum permain yang sangat apik karena walaupun tetap menggambarkan busana Cina namun dipadukan dengan unsur budaya jawa berupa corak batik yang dipakai oleh ketiga tokoh utama, dialog dalang terasa sangat menusuk terutama ketika bercerita tentang pandangan sanga dalang yang menyatakan bahwa tidak semua orang yang bernama Budi itu berbudi, yang disambut dengah tawa riah penonton penuh pengertian.
Lirik lagu yang dinyanyikan juga sangat menusuk, di antaranya adalah ketika membawakan lagu Nyanyian Kaum Melata yang berkata “Beri kami nasi, jangan beri kami tai”.Selain itu, ada juga adegan ketika Han Bun bersembahyang di kelenteng dan rombongan pengemis bernyanyi sambil meminta derma dengan lirik yang cukup tajam seperti “Jangan lupa orang miskin tajam lidahnya dan manjur doanya”
Singkatnya, selain menghibur, menonton Opera Ular Putih ini kita juga belajar manisnya perpaduan budaya serta banyaknya ajaran moral yang cukup menggelitik jiwa.
Jakarta, April 2015
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H