Museum Lampung sudah berdiri sejak paruh kedua dasawarsa 1980 an, namun walaupun sudah sering berkunjung ke Bandar Lampung, ibu kota propinsi yang memiliki julukan Sang Bumi Ruwa Jurai ini, baru kali ini saya sempatkan masuk dan melihat-lhat isi museum yang terlihat cukup megah ini.
Kendaraan diparkir di halaman yang cukup luas itu. Terlihat beberapa buah bus besar juga sedang parkir yang kemungkinan mengantarkan para pelajar yang sedang mengadakan studi wisata. Memasuki gedung museum, suasana sedang ramai sehingga saya dapat masuk dengan leluasa dan gratis.
Wah asyik juga ada museum gratis di Lampung, fikir saya. Ternyata di lantai dua museum kemudian saya sempat membaca tata tertib kunjungan ke museum dimana pengunjung diharuskan memiliki karcis. Namun, walaupun kemudian museum menjadi sepi karena para pelajar sudah meninggalkan museum, tidak ada seorang pun petugas yang menanyakan karcis saya. Setelah dilihat-lihat, juga tidak ada tempat untuk membeli karcis!.
Saya belok ke ke kiri di lantai bawah dan memasuki ruang pamer dimana terdapat hewan khas Lampung seperti harimau Sumatra yang terlihat garang. Di dekatnya juga dipamerkan anak gajah dan juga hewan berkulit keras tringgiling.
Berjalan terus menyusurisatu per satu ruang pamermuseum, kita dibawa kembali ke jaman masa prasejarahmelalui benda dan prasasti yang ditemukan di Lampung, di antaranya menhir atau batu besar yang melambangkan kesuburan pria .Pengembaraan melewati lintasan sejarah juga membawa pengunjung ke jaman Hindhu Budda dan kemudian sampai jaman kerajaan Islam di Lampung.
Di tempat lain juga dipamerkan silsilah pahlawan nasional dari Lampung yaitu Raden Inten II, beberapa uang kertas serta uang logam kuno, berjenis-jenis senjata dan jugakisah perlawanan rakyat Lampung terhadap penjajah Belanda.
Di lantai dua, dipamerkan benda-benda yang berhubungan dengan kehidupan dan kesenian serta kebudayaan daerah Lampung. Salah satunya adalah kain tapis yang menjadi kebanggaan daerah yang terletak di paling ujung selatan pulau Andalas ini.
Pakaian penganten daerah, benda-benda yang berkenaan dengan siklus kehidupan seperti kelahiran, masa kanak-kanak, perkawinan sampai dengan ritual kematian juga dipamerkan dengan apik di lantai dua museum yang cukup megah ini.
Sayangnya, di salah satu tempat pameran dimana terdapat display mengenai jenazah, terdapat papan langit-langityang sudah mau runtuh namun belum sempat diperbaiki. Papan ini dibiarkan saya menggantung dan hampir lepas menimpa jenazah yang tertutup kain di bawahnya.
Yang paling asyik dalam kunjungan ke museum ini adalah dua buah prasati yang terletak di dekat pintu masuk dimana dipamerkan aksara dan angka Lampung . Dengan melihat prasasti ini, kita paling tidak dapat mengenal angka dan juga aksara sehingga dapat membaca tulisan-tulisan kuno yang ada di museum ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H