Mohon tunggu...
Taufik Uieks
Taufik Uieks Mohon Tunggu... Dosen - Dosen , penulis buku travelling dan suka jalan-jalan kemana saja,

Hidup adalah sebuah perjalanan..Nikmati saja..

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

Terpesona Reruntuhan Angkor (Bagian 4)

8 November 2011   04:24 Diperbarui: 29 Agustus 2015   12:33 282
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 

 

 

Episode 4: Bermain Petak Umpet di Pedang Suci

 

Kembali bersama Thiera dan Camry tuanya, saya menyusuri jalan-jalan di tengah hutan Angkor. Sekitar dua kilometer di sebelah timur Kota Raja Angkor Thom, Thiera menghentikan kendaraannya di tepi jalan dan kembali menyuruh saya masuk ke dalam sebuah jalan atau gang yang bahkan tidak beraspal. “ This is the road to Preah Khan, just walk in 5 minutes”, demikian perintahnya kepada saya.

 

Saya menyusuri Jayatataka Baray yang merupakan semacam bendungan atau reservoir kuno yang dibangun pada masa Angkor menuju Preah Khan. Di depannya saya , berdiri kompleks candi yang sudah tidak utuh lagi. Namun tepat sebelum gapura, saya sempat melihat adanya patung Wisnu sedang menunggang Garuda di kedua sisi gapura. Menurut kepercayaan, Garuda dan juga naga yang dipegangnya merupakan hewan pelindung udara dan air.

 

 

 

 

Preah Khan: Cerminan Toleransi dan Keragaman

 

Muy, Phi, Bay, Boen, Pram (satu, dua, tiga, empat, lima). Dua gadis cilik dengan bertelanjang kaki dan memakai rok berwarna jihau yang sama, mungkin seragam sekolah dasar sedang bermain-main di tengah tengah bangunan candi Phrea Khan. Dua-duanya memiliki paras cantik khas Kamboja dengan kulit sawo matang yang legam terbakar matahari, namun tersirat juga kemiskinan di pakaian dan kaki yang telanjang.  Seorang diantaranya membawa sekor binatang sejenis lutung yang tampak jinak. Mereka sedang bermain petak umpet. Gadis cilik yang satu menghitung satu sampai sepuluh sementara yang lain menghilang di antara pilar-pilar candi. Permainan itu sendiri mengingatkan saya akan masa kecil dimana permainan serupa juga sering dimainkan bersama teman sepermainan di kampung.

 

Tampak sadar saya juga ikut mengucapkan Muy, phi, bay, boen, pram, pram muy, pram phi, pram bay, pram boen dst.. Hitung-hitungan dalam bahasa Khmer itu sendiri baru saya pelajari sehari sebelumnya dari Thiera. Mendengar saya ikut mengucapkan hitungan dalam bahasa Khmer tadi, kedua gadis cilik itu pun tidak sungkan mengajak saya bermain. Dan untuk sementara saya lupa kalau saya adalah orang asing dan ikut tenggelam ke masa kecil yang telah lama berlalu. Lucunya bersama dua gadis cilik yang tidak saya kenal dan bahkan saya tidak tahu namanya. Dan lokasinya di Candi Phrea Khan yang luas, indah, penuh misteri dan hanya ada saya dan dua gadis cilik tadi.

 

Di tempat yang dibangun oleh Raja Jayavarman VII pada petengahan kedua abad ke12(1197) ini saya termenung, sesekali suara riuh dua gadis cilik tadi masih mampir ke telinga, tidak banyak pengunjung yang datang hanya ada satu turis yang mungkin dari Jepang sedang asyik mengambil gambar detail ukiran di Phra Khan atau Pedang Suci ini.

 

Kompleks Buddha seluas lebih 56 hektar ini dulunya merupakan kuil tempat para calon biksu belajar agama dan juga dibangun untuk menghormati ayah Jayavarman VII Dharanindravarman. Menurut prasasti, Preah Khan dibangun di tempat dimana Jayavarman VII mengalahkan orang Champa. Pada masa itu tempat ini dikenal dengan nama Nagarajayasri atau Negara Raja yang Jaya yang kemudian dalam bahasa Khmer menjadi Preah Khan atau pedang suci.

 

Uniknya lagi, walaupun Candi ini merupakan kompleks Buddha., toleransi terhadap Hindhu juga tetap dijunjung tinggi dengan membagi sebagian wilayah candi ini untuk Wisnu di sebelah Barat dan Shiwa di sebelah Utara. Bagian belakang Candi bahkan diperuntukkan bagi pemujaan leluhur Bangsa Khmer.

 

Walaupun tidak separah Ta Phrom, Preah Khan juga sempat ditinggalkan dan kenudian ditelan oleh hutan. Di sebagian tempat masih terlihat pepohonan raksasa yang tumpang tindih baik di halaman maupun bahkan tepat di tengah bangunan. Suasana seperti ini, ditambah dengan kesunyiannya, memang memberikan kita setting yang tepat untuk merenung. Merenung akan artinya jaman dan waktu yang tidak pernah abadi.

 

 

 

 

Replika Danau Himalaya di Neak Pean

 

Tidak jauh di sebelah timur Preah Khan, saya pun sempat mengunjungi Candi kecil namun memiliki disain yang unik dan mempesona. Candi yang hanya setinggi empat meter ini terletak persis di tengah-tengah Jayatataka Baray.

 

Konon, dulu kita harus menggunakan perahu untuk sampai di Candi ini, namun sekarang sebuah jalan yang diuruk dari tepi menghubungkan tepian reservoir dengan Candi.

Candi yang terletak di tengah kolam buatan berbentuk bujur sangkar dengan sisi sekitar 70 meter. Sebuah pulau berebentuk lingkaran dengan tangga yang terdiri dari tujuh tingkat menjadi tempat berdirinya Neak Pean.

 

Konon tempat ini merupakan replika danau Anavatapta yang ada di pegunungan Himalaya, di puncak dunia, yang menjadi sumber air untuk empat sungai besar di dunia. Karenanya tempat ini dulu berfungsi sebagai semacam spa atau tempat pemandian bagi Bangsa Khmer.

 

 

 

 

Renungan Sambil Makan Malam dan Nonton Tarian Khmer

 

Malam harinya saya pun sempat makan malam dengan pertunjukan tarian tradisional Kamboja di sebuah restoran. Sambil menikmati makanan, saya pun merenung adan mengenang kembali perjalanan hari ini . Setelah Preah Khan dan Neak Pean, Thiera masih sempat mengajak saya berkeliling ke beberapa Candi lagi seperti Banteay Kdei, Neak Preah Rup, dan East Mebon.

 

Semuanya memiliki keunikan dan keindahannya masing-masing. Suatu kunjungan yang memperkaya rasa keindahan dan juga pemahaman kita akan negri Kamboja. Negri yang saat in berupaya giat untuk bangkit setelah bertahun-tahun hancur lebur oleh perang yang tidak berkesudahan. Sekali lagi keramahan penduduknya tidak mudah saya lupakan. Seperti juga dua gadis cilik yang mengajak saya bermain petak umpet di Preah Khan. Okhun, terimakasih Kamboja

 

(bersambung)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun