Mohon tunggu...
Taufik Uieks
Taufik Uieks Mohon Tunggu... Dosen - Dosen , penulis buku travelling dan suka jalan-jalan kemana saja,

Hidup adalah sebuah perjalanan..Nikmati saja..

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Artikel Utama

Terpesona Reruntuhan Angkor (Bagian 1)

2 November 2011   04:14 Diperbarui: 29 Agustus 2015   11:39 567
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 

 

 

 

 

Angkor sesungguhnya bukan hanya Angkor Wat dan Angkor Tom.! Kompleks Angkor dengan luas lebih dari 200 km2 di Kamboja barat-laut ini terdiri lebih dari ratusan candi yang tidak akan habis kita kunjungi dalam waktu satu minggu sekalipun. Nama Angkor merupakan versi bahasa Khmer untuk nagara (negri) dalam bahasa Sansekerta. Di Angkor ini dulunya berdiri pusat pemerintahan kerajaan Khmer yang saat ini terletak di kota dan propinsi yang dikenal dengan nama Siem Reap (artinya yang dikalahkan orang Siam). Kota Siem Reap saat ini menjadi pintu gerbang untuk mengunjungi kompleks Angkor.. "Soksabay, Swakom" demikian ungkapan dalam bahasa Khmer yang diucapkan oleh Thiera, supir sekaligus pemandu yang akan mengantar saya selama kunjungan tiga hari di Siem Reap. Artinya kira-kira, halo dan selamat datang. Selama tiga hari itu pula Thiera akan banyak mengajarkan saya kata-kata dalam bahasa Khmer.

 

 

Tiket Berupa Pas yang Berlaku Tiga Hari:

Setelah beristirahat sebentar di Hotel, dengan mobil Toyota Camry yang tampaknya sudah agak tua, kami segera menuju kompleks Angkor yang jaraknya kira-kira 6 km dari pusat kota Siem Reap menyusuri Sivutha Boulevard. Diujung jalan ini, Thiera menunjukan Rumah Sakit Anak Jayavarman VII yang cukup khas rancangan dan disainnya. Di pintu gerbang, kita harus membeli tiket masuk dengan beberapa pilihan. Tiket satu hari tanpa foto atau Pas 3 hari dengan foto. Untungnya kita tidak usah membawa foto karena merekalah yang akan mengambil gambar dengan foto langsung jadi. Sim Salabim , dalam waktu kurang 2 menit pas masuk yang berlaku tiga hari berikut foto yang ganteng sudah siap. Pas harus ditunjukan setiap kali masuk ke kompleks candi atau sesuai permintaan petugas.

 

Sementara itu penduduk lokal bebas keluar masuk kompleks karena mereka pun sebagian besar tinggal di sekitar bangunan. Sambil menerima pas masuk, saya ucapkan O khun (terima kasih) kepada gadis penjaga gerbang. Mereka bilang saya sangat mirip dengan orang Khmer, dan bahkan Thiera selalu bilang ke teman-temannya kalau saya adalah abangnya yang datang dari Bangkok. Wah kalau tahu begitu, gak usah beli tiket nih! Dengan demikian bermulailah perjalananan panjang menyelusuri, mempelajari, menghayati, sekaligus mendaki ratusan candi di Angkor. Kompleks Angkor lebih tepat disebut sebagai hutan dengan sebaran candi, monumen, kuil, dan bangunan lainnya yang menjadi satu dengan sawah, dan pemukiman penduduk. Transportasi di dalam kawasan Angkor, umumnya berupa motto atau becak motor yang lebih tepat motor yang digandeng dengan becak yang dapat kita sewa dengan sekitar 10 USD per hari. Namun menggunakan mobil akan lebih cepat, nyaman dan aman. Selain itu banyak juga turis yang menggunakan sepeda untuk mengunjungi candi-candi di Angkor.

 

 

 

Melihat Prambanan Versi Angkor Dari sekian banyak monumen, ada beberapa yang tidak boleh dilewatkan, tergantung waktu yang kita miliki. Kunjungan pertama saya di siang hari itu adalah ke Thommanon, yang tertelak tidak jauh di sebelah timur Pintu Gerbang Kemenangan Angkor Thom. Monumen ini memiliki gaya Angkor Wat dan dibangun pada masa Suryavarman II pada pertengahan pertama abad 12. Melihat candi ini, kita banyak melihat persamaan dengan candi-candi Hindu di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Bentuk ukirannya mirip dengan candi Prambanan. Untuk perkenalan cukup menghabiskan sekitar 10 menit di candi ini, karena bangunannya tidak terlalu besar dan juga tidak terlalu banyak tangga untuk didaki.

 

 

 

 

Phnom Bakheng atau Bukit Bakheng: Replika Maha Meru Kalau Thomanon dapat dinikmati dengan santai, maka Replika Maha Meru, Bukit Bakheng ini nampak menjulang sangat tinggi, untuk mendakinya anda harus ekstra hati-hati karena derajat kemiringan yang sangat curam, lebih dari 60 derajat dengan undakan undakan yang sangat sempit. Akhirnya saya pun sampai ke puncak dan kemudian dengan leluasa memandang keindahan lima menara Angkor Wat dengan latar belakang Danau Tonle Sap di kejauhan. Momunen Hindu yang dibangun pada masa Raja Yasovarman I di akhir abad ke sembilan dan awal abad kesepuluh ini memiliki tinggi sekitar 67 meter dan terbagi dalam 7 tingkat yang melambangkan tujuh surga Indra dalam mitoligi Hindu.. Dalam bentuk aslinya terdapat 108 menara yang sekarang sebagian besar sudah runtuh. Monumen ini memiliki simetri yang paling sempurna dari seluruh monumen di Angkor. Mendaki Phom Bakheng, mengingatkankan saya akan Candi Borobudur. Tentu saja Borobudur tampak jauh lebih indah dan megah dan dalam keadaan yang hampir sempurna seperti baru dibangun. Namun yang membuat kita tercengang adalah bentuknya yang lebih mirip seperti piramida di atas bukit, Hanya yang kuat dan memiliki keberanian akan berhasil mendaki ke puncak dan menikmati pesona keindahan di atasnya.

 

 

Makan Ayam Amok di tepi Kolam Renang Raksasa Srah Srang Sebelum melanjutkan perjalanan yang memerlukan banyak enerji, tentuya saya juga harus beristirahat untuk memulihkan tenaga. Di tepi Shra Srang, atau tempat pemandian raja-raja Khmer jaman dahulu yang sangat luas, (raja Jayavarman VII akhir abad 12) , berukuran 700 x 300 m, terdapat sebuah restaurant yang namanya Khmer Family Restaurant. Nampak cukup bayak turis yang menikmati makan siang di sana dan menunya pun tertulis dalam Bahasa Inggris. Menunya bermacam-macam termasuk masakan khas Khmer yaitu Amok. Ternyata amok adalah ayam yang diberi kuah santan dan dihidangkan didalam tempurung kelapa. Cukup lezat juga menikmati amok dan air kelapa muda dengan buaian angin semilir di tepi Srah Srang.

Di awal sore ketika matahari mulai meredup, saya memasuki Ta Phrom dari pintu timur. Ta Phrom merupakan monumen yang sama sekali tidak disentuh oleh para arkeolog kecuali membersihkan jalur untuk pegunjung dan memperkuat struktur untuk mencegah keruntuhan lebih jauh. Karena itu, saya juga merasakan rasa kagum yang hampir sama dengan yang dirasakan oleh para pengembara yang pertama kali menemukan monumen ini di pertengahan abad ke 19. Terletak jauh di tengah hutan, dimana akar-akar pohon kapok dan beringin raksasa berusia ratusan tahun bersatu padu dengan bebatuan candi dan dibiarkan begitu saja sehingga seakan-akan memanggil kita untuk menjelajah kompleks ini dengan rasa ingin tahu yang besar. Pada saat kita akan meninggalkannya ada perasaan sedih karena keadaannya yang tinggal reruntuhan. Namun begitu kita menjauh, terasa seakan-akan ada seusatu yang tertinggal sehingga ada perasaan untuk datang lagi dan lagi.

 

 

 

 

Kompleks ini merupakan kompleks terluas di Angkor yang dibangun Raja Jayavarman VII pada akhir abad 12 untuk memperingati ibu sang raja. Setelah puas menikmati harmoni batu dan pohon, kita dapat keluar menuju pintu gerbang barat, nampak jauh sekali saya harus berjalan dan ada sedikit rasa takut karena tidak ada seorang pun yang berjalan bersama. Dari kejauhan terdegar suara alunan musik tradisional Kamboja yang dimainkan oleh sekelompok orang yang menjadi korban peperangan dan juga korban ranjau darat. Orang-orang dengan anggota tubuh yang tidak lengkap ini banyak sekali di Kamboja. Mereka mengharapkan kita untuk sekedar memberi uang ataupun membeli CD musik mereka. Kelompok ini banyak terdapat di hampir semua candi di kompleks Angkor. Sementara di pintu barat banyak anak-anak yang meneriakan one dollar, one dollar sambil membujuk kita untuk membeli souvenir ataupun kartu pos yang mereka jajakan. (bersambung)

 

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun