Lihat, ada masjid juga di Athena! Demikian celoteh spontan seorang sobat sambil membentangkan peta kota Athena yang diambil di resepsionis hotel kemarin. Okay, kalau begitu setelah ke Syntagma Square, kita kesana sore nanti, jawab teman yang lain santai. Inilah percakapan yang menjadi awal perajalanan kami yang cukup unik. Dari hotel, kami naik shuttle bus yang menuju pusat kota Athena, yaitu Syntagma Square. Setelah itu hanya perlu naik Metro Attika (Kereta Bawah Tanah) dan keluar di stasiun Monastiriku. Dengan santai kami berjalan menaiki eskalator stasiun Monastiriku di pusat kota lama di kawasan Plaka atau juga Monastiriku. Begitu keluar bangunan stasiun, segera terlihat bangunan masjid yang yang dicari. Sesuai peta kota Atena yang saya miliki, nama masjid ini adalah Masjid Tsisdarakis (Τζαμί Τσισδαράκη). Di halaman depan stasiun ini merupakan lapangan terbuka yang khusus untuk pejalan kaki. Banyak sekali orang lalu lalang dan juga pedagang yang membuka kios-kios kecil.. Dari kejauhan, tampak sekali bahwa masjid ini memiliki arsitektur model Usmaniyah seperti yang banyak terdapat di Turki. Ukurannya tidak terlalu besar, mungkin hanya sekitar 100 meter persegi.
Kubahnya agak datar dan warna batu putih kecoklatan mendominasi bangunan secara umum. Ada sebuah kubah utama dan juga beberapa kubah kecil beratapkan genting berwarna coklat tua. Saya mendekat melalui Library of Hadrian yang tepat berada di sebelh kiri masjid. Dari samping sebelah kanan tampak empat buah jendela besar dengan kusen berwarna coklat. Jendela ini masih dilengkapi oleh empat buah jendela yang lebih kecil di atasnya. Dari arah muka, tampak empat buah tiang utama di beranda,. Sebuah pintu berwarna coklat di apit oleh masing-masing dua jendela dikiri kanan pintu menyambut kami. Masjid terletak agak tinggi sehingga kami harus menaiki beberapa anak tangga. Sesampainya di pintu masuk, saya agak terkejut, karena berhadapan dengan semacam resepsionis yang menjual tiket . Jadi untuk masuk kedalam kita harus membeli tiket , demikian protes saya dalam hati.
Saya sempat melihat-lihat ke dalam ruangan tanpa perlu membayar tiket dan memperhatikan interior masjid ini. Mihrabnya masih kelihatan utuh lengkap dengan ukiran bulan bintang di atasnya. Di sebelah kanan anda tangga kayu yang menuju lantai atas. Kubahnya terlihat bersususn dua dan pagar lantai atas juga terlihat dari kayu berwarna coklat. Namun saya juga sadar bahwa tempat ini sudah bukan masjid lagi, melainkan sudah berfungsi sebagai museum dengan banyaknya benda-benda berbentuk keramik dan piring-piring yang dipamerkan.
Akhirnya saya keluar lagi ke beranda dan melihat nama gedung ini sebagai Museum of Greek Folk Art. Informasi dari leaflet menjelaskan sejarah masjid peninggalan Kekaisaran Ottoman atau Usmaniyah ini. Sejak 1973 , Masjid ini berfungsi sebagai bangunan tambahan untuk Museum of Greek folk Art. Di dalamnya dipamerkan koleksi keramik V. Kyriazopoulos . Pantas seperti museum keramik, kata saya dalam hati. Masjid yang sekarang menjadi museum ini dibangun pada 1759 oleh Gubernur Athena, Muhammad Aga Tsisdarakis. Pada waktu itu Yunani termasuk wilayah Kekaisaran Usmaniyah yang berpusat di Isttanbul. Kemudian pada saat revolusi di tahun 1821,. Yunani melepaskan diri dari kekuasaan Usmaniyah,. Pada kejadian itu menara masjid sempat diruntuhkan dan tidak pernah dibangun kembali.. Setelah kemerdekaan Yunani, masjid ini pun berubah fungsi dan sempat dijadikan barak dan penjaran oleh tentara Yunani. Namun nasib mengubahnya ketika direnovasi pada 1915 . Masjid ini mulai difungsikan sebagai "Museum of Greek Handwork",. Sejarah terus berputar dan masjid ini kemudian berfungsi sebagai "National Museum of Decorative Arts" mulai 1923. Lalu pada 1959 diubah lagi menjadi Museum of Greek Traditional Art.
Setelah mencari informasi lebih lanjut, akhirnya saya menemukan alamat sebuah masjid yang berada di kawasan Neo Kosmos. Untuk menuju kesana, kita dapat kembali naik Metro ke Syntagma dan kemudian tukar dengan tram menuju halte Neo Kosmos. Sesampainya di halte tram Neo Kosmos, memang tidak mudah menemukan jalan yang dituju. Dengan berbekal peta kota Athens, kami pun bertekad mencari masjid ini. Rasa penasaran lah yang membuat kami berusaha terus mencari. Akhirnya setelah berjalan sekitar 15 menit , kami pun menemukan jalan yang kami cari. Jalan ini terletak di daerah perumahan yang rata-rata berlantai empat atau lima. Secara umum kawasan ini cukup sepi bahkan di siang hari. Di persimpangan jalan tertulis nama jalan dalam abjad Yunani. Untung saya masih dapat membaca abjad Yunani yang dari Alpha sampai omega itu. No 9 tentunya tidak jauh dari persimpangan jalan, fikir saya. Benar saja empat rumah dari persimpangan jalan akhinrya kami menemukan alamatnya . Namun mana masjidnya? Ini hanya sebuah rumah berlantai 4 biasa. Sama seperti rumah-rumah di sekitarnya.
Setelah sempat mencari-cari akhirnya, kami menemukan semacam kios yang menjual makanan halal di dalam bangunan tersebut. Ini disimpulkan dengan adanya tulisan arab di depan kios. Sayangnya kios atau warung ini dalam keadaan tutup. Beruntung, tidak lama kemudian muncul sesorang berperawakan timur tengah dari dalam bangunan,. Kami mengucapkan salam dan menyatakan bermaksud mencari masjid.
Dia kemudian membuka rolling door. Dengan menuruni tangga baru terlihat bahwa tempat ini merupakan sejenis masjid rahasia. Hanya orang-orang tertentu saja yang tahu. Di atas pintu tertulis nama masjid, baik dalam bahasa Arab , juga Inggris. Selain itu terdapat beberapa tempelan dan tulisan dalam bahasa Yunani.
Menjadi Marbot Masjid
Kami bertiga kemudian mengambil wudhu di tempat yang cukup sederhana. Pada saat kami masuk, ruangan dalam keaaan gelap. Lampu-lampu masjid kemudian dinyalakan oleh orang tadi. Dia kemudian berkata bahwa dia akan pergi dan seandainya kami selesai sholat diharapkan untuk mematikan lampu dan kemudian menutup kembali rolling door seperti sedia kala. Kami bertiga bahkan belum sempat bertanya siapa namanya. Wah , kita jadi marbot nih! Saya perhatikan ruangan masjid yang walaupun terletak di bawah tanah ternyata cukup luas. Hamparan karpet bewarna hijau membentang menutupi seluruh lantai seluas lebih dari 100 meter persegi. Mungkin dapat memuat sekirar 100 jamaah, kata saya dalam hati.
Setelah menjalankan sholat dzuhur dan ashar yang dijamak, akhirnya kami pun mematikan lampu, menutup pintu dan berjalan perlahan meninggalkan masjid bawah tanah tadi. Kami kembali ke warung kecil yang ternyata masih tutup. Tidak ada seorangpun di sana, termasuk orang yang membukakan pintu tadi. Dengan berjalan perlahan kami kembali menuju stasiun Tram Neo Kosmos, sambil merenung akan hebatnya penglaman batin hari ini. Maksud hati mencari masjid, ketemunya gudang bawah tanah. (Telkomsel Ramadhanku)