Siang kemaren, bertempat di “Restoran Ayam dan Bebek Tangkap Atjeh Rayeuk” yang berlokasi di kawasan jalan Ciranjang, Jakarta Selatan berlangsung acara santai yang membedah isi buku “Re” langsung oleh penulisnya Kang Maman Suherman.
Suasana terasa sangat santai, apalagi sang penulis, Kang Maman, yang walaupun bernama khas Sunda, ternyata berasal dari Makassar ini , terasa sangat ramah walaupun baru kali ini sempat bertatap muka langsung.Sebelum acara dimulai, Fikri dengan gaya “standup comedy” menguraikan pendapatnya tentang perempuan dan kesetaraan jender dan juga emansipasi wanta.
“Wanita itu jauh lebih hebat dari kaum lelaki”, tukasnya lagi sambil memberi contoh betapa banyak pria yang tidak sanggup hidup sendiri apabila ditinggal istri sementara banyak wanita yang bisa berperan sebagai ayah dan ibu bila ditinggal suami.Tetu saja selain tugas alamiah dimana betapa pun hebatnya lelaki, dia tidak akan pernah bisa hamil dan melahirkan.
Buku dengan judul paling singkat di dunia karena hanya dengan dua huruf yaitu “RE” ini berasal dari skripsi Kang Maman ketika menimba ilmu di program studi kriminologi di Universitas Indonesia di akhir tahun 1980-an.Buku yang bercerita tentang kehidupan seorang pelacur yang lesbian dan memiliki seorang anak ini mengungkap dengan gamblang betapa pahit dan getirnya kisah tokoh utama yang bernama “Rere” ini.Kalau ditanya nama aslinya, Re juga hanya menjawab dengan sedikit diplomasi tentang apalah arti sebuah nama.
Kehidupan sebagai pelacur yang keras, dimana kadang-kadang kematian menjadi sangat akrab dengan mereka serta detil yang sangat hidup dapat dirasakan ketika membalik lembar-demi lembar buku setebal 160-an halaman ini.“Kalau lengkap bisa lebih dari 400 halaman”, tambah kang Maman lagi. Namun penerbit POP yang merupakan bagian dari penerbit kondang Gramedia ini menyarankan untuk menyingkat cerita sehingga akhirnya buku ini tidak menjadi terlalu tebal dan enak untuk dibaca.Namun, tetap saja ada tanda bulatan kecil di sudut kanan bawah buku yang menyatakan buku ini “Khusus Dewasa” dengan angka 18 plus di dalam lingkaran.
Kang Maman terus bercerita banyak tentang kehidupan pribadinya ketika kuliah di Jakarta. Tentang ibunya yang tegar, tentang awal-awal kehidupan sebagai jurnalis lepas untuk membiayai kuliah. Dan puncaknya adalah ketika menyelusuri kehidupan para pelacur untuk menyelesaikan skripsi yang kemudian menjadi buku mungil dengan cover depan berwarna biru tua, putih dan hitam ini.
Obrolan kami kian siang kian asyik. Semuanya tentang perempuan yang dianggap sebagai “cahaya” oleh Kang Maman, sebagaimana dituliskan pada lembar pertama buku yang dihadiahkan kepada saya lengkap dengan tandatangan sang penulis yang kebetulan memilih untuk berkepala plontos ini.
“Saya bernazar untuk memotong rambut apabila Pak Harto jatuh”, jelas Kang Maman lagi sambil bercerita betapa pada masa orde baru kebebasan pers sama sekali tidak ada. Dia juga sempat bercerita betapa getirnya ketika sebuah penerbit yang berjanji akan memberkan honor dalam jumlah yang lumayan tiba-tiba saja dibredel.
Asyiknya semua obrolan kami siang itu ditemani oleh kuliner khas Aceh yang nikmat seperti ayam dan bebek tangkap, dan tentunya mie Aceh yang saya pesan ini.
Kalau anda penasaran tentang buku berjudul “Re” ini, silahkan mampir ke toko buku dan membelinya. Dijamin bahwa perspektif anda tetang wanita yang tadinya hanya 4 P yaitu, pigura, peraduan, pergaulan, dan pinggan, akan berubah menjadi P yang kelima yaitu pilar.
Pe”RE”mpuan memang cahaya yang menjadi pilar kehidupan kita semua.
Jakarta , 4 Mei 2014
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H