Sebelum sampai di Yangon Central Railway Station, saya sempat melihat stasiun terbesar di Myanmar ini dari kejauhan ketika melintas di atas jembatan di Zoological Garden Road.Deretan rel, peron yang terlihat tua dan sedikit kumuh, serta deretan gerbong kereta kayu yang kebetulan melintas sangat lambat seakan-akan mengucapkan selamat datang ke masa lampau.
Perjalanan di pagi yang cerah di kota Yangon dilanjutkan denganbelok kanan melewati trotoar yang dipenuhi pedagang kaki lima yang menjual berbagai jenis makanan termasuk mohinga, makanan tradisional Myanmar yang terkenal lezat itu.Tiba lah saya di gedung yang megah, tua, namun dengan cat yang sudah terkelupas dan terlihat kusam bagaikan sudah tidak dicat selama puluhan tahun.Ini dia Stasiun Kereta Api Kota Yangon yang akan menjadi awal perjalanan wisata selama hampir 3 jam mengelilingi kota Yangon dengan naik Yangon Circular Railway.
Memasuki gedung utama, terlihat loket karcis, jadwal kereta, dan juga kursi berwarna biru mirip dengan kusi bus PPD di Jakarta.Selain itu di ruang tunggu, juga banyak calon penumpang yang duduk maupun tertidur di lantai.Saya sempat bertanya di salah satu loket dan ditunjukkan bahwa tiket kereta lingkar dapat saya beli di platform 7.
Platform 6 dan 7 dapat dicapai dengan naik jembatan yang melintas di atas rel kereta.Dari sini dapat dinikmati betapa sesungguhnya stasiun central Yangon ini begitu megah dan indah. Sayangnya keadaannya saat ini benar-benar tidak terawat dan kumuh. Di platform, selain calon penumpang, juga dapat dijumpai pedagang asongan, penjual segala jenis makanan dan bahkan juga anjing-anjing liar yang bebas keluyuran. Anak-anak kecil yang bertelanjang ria juga terlihat sedang mandi di salah satu pojok platform.
Di loket, saya membeli tiket seharga 300 Kyat (dibaca Chat: atau sekitar 3600 Rupiah).Petugas memberi info bahwa kereta berikutnya adalah yang clockwise alias berjalan sesuai arah jarum jam dan akan berangkat pada pukul 10.10 pagi.“Just follow me”, demikian katanya sambil meminta saya menunggu di dekat loket.Di sana juga terlihat beberapa wisatawan asing baik yang berkulit putih dan ada juga rombongan gadis yang sibuk berbicara dalam Bahasa Thai. Selain itu adalah penumpang lokal yang kebanyakan memekai long yi, sarung khas Myanmar yang ada dimana-mana.
Petugas loket yang juga memakai longyi bewarna coklat kemudian keluar dari loket dan mengajak rombongan kami menuju mendekati tepi rel. Di kejauhan , dengan lambat terlihat kereta yang akan kami tumpangi dan menjadi wahana kita untuk berwisata melewati 38 stasiun yang melingkar di kota Yangon.
Setelah naik kereta,penjaga loket berbicara dengan satpam yang ada di kereta untuk memberitahukan kepada rombongan gadis Thai apabila mereka sudah sampai di stasiun tujuan. Rupanya mereka akan turun si stasiun yang letaknya kira-kira setengah perjalanan saja. Sementara saya duduk di dekatseorang pria Jepang, yang berumur lebih dari 60 tahun yang sempat menjadi teman saya selama perjalanan naik kereta ini.
Kereta pun mulai berjalan dengan perlahan.Sang pria Jepang segera mengenali bahwa gerbong ini bekas JR alias Japan Railways karena masih ada kipas angin dengan logo JR da juga tulisan No Smoking dalam Bahasa Jepang.Di salah satu pojok kereta , tertera peta nama-nama stasiun yang sayangnya hanya dalam aksara Burma.
Stasiun pertama yang kita lewati adalah Phaya Lan atau Pagoda Road.Stasiun ini hanya berupa halte kecil yang tidak terlalu ramai. Tidak ada penumpang yang turun disini dan hanya ada beberapa penduduk lokal Yangon yang ikut naik kereta kami.
Kereta terus berjalan lambat , kecepatan hanya berkisar 15 sd 20 km per jam. Dan sekali-kali gerbong bergoyang ke kiri dan ke kanan. Melewati stasiun besar dan kecil, ada yang hanya berupa halte dan orang-orang yang tertidur. Ada juga yang cukup besar namun dipenuhi pedagang sehingga lebih mirip pasar dibandingkan stasiun kereta apai, dan ada juga yang dipenuhi dengan meja-meja kecil yang menjual makanan hingga lebih mirip warung tegal besar dan terbuka.
Dengan naik kereta ini, kita dapat melihat dan sekaligus berinteraksi dengan masyarakat Yangon yang ternyata sangat sederhana, ramah, dan murah senyum.Pedagang asongan berkeliling dengan bebas dari gerbong-ke gerbong, serombongan biksuni berseragam warna pink dengan kepala yang pelontos juga ikut menyemarakan suasana.
Di salah satu stasiun yag cukup besar, naik seorang pria yag menggandeng searang bocah perempuan berusia skitar delapan tahun.Sang anak terlihat memakai kostum yang cukup wah lengkap dengan dandanan dan pernak-pernik yang has India.Rupanya mereka sedang merayakan salah satu hari raya keagamaan yang juga merupakan hari libur nasional di Myanmar, yaitu Deepavali.Sang anak segera menjadi obyek jepretan kamera seraya berlari kian emari di dalam gerbong sementara sang ayah mengawasi dari kejauhan sambil tersenyum.
Jual beli juga bukan hanya terjadi di dalam gerbong, tetapi ketika pintu kereta terbuka dan sang pedagang hanya menasongkan dagangannya ke dalam gerbong.Seorang ibu, juga dengan santai membantu anak lelaki kecilnya buang air kecil pas di pintu kereta ketika sedang mampir di salah satu stasiun.
Kereta terus berjalan ke bagian barat laut dan utara kota Yangon, pemandangan berubah dari perkampungan enjadi daerah pesawahan yang hijau.Tidak ketinggalan, kerata juga melewati kawasan bandara Mingaladon dimana dari kejauhan kita dapat melihat pesawat yang baru sajamendarat atau sedang siap-siap tinggal landas.
Tidak terasa, sudah dua jam setengah lebih perjalanan dalam kereta yang bergerak lambat mengelilingi kota Yangon ini pun kian mendekati kembali ke pusat kota.Dua setengah jam lebih dimana kita dapat melihat secara langsung kehidupan masyarakat yang penuh dinamika. Kehidupan masyarakatYangon yang secara perlahan mulai berubah. Sejalan dengan mulai terbukanya negri ini terhadap investasi asing dan juga dunia wisata.
Di stasiun Central Yangon ini saya pun berpisah dengan teman perjalanan selama dua jam lebih, sang pensiunan yang menjadi guru bahasa Jepang di Yangon.Di stasiun Yangon ini pula saya kemudian melihat masih banyak kereta api dengan gerbong dan kursi yang terbuat dari kayu tetap setia lalu lalang mengeliling kota Yangon.
Namun melihat perubahan yang cukup cepat di sentero Yangon dan Myanmar, saya tidak tahu sampai kapan kereta paling lambat dan murah di dunia ini mampu bertahan?
Yangon, Oktober 2014
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H