Akun yang menawarkan telur jangkrik berseliweran di beranda. Belum lagi di shopee dan Tokopedia. Dan toko online lainnya. Tetapi hampir tak ada yang bersedia menurunkan harga. Sepertinya hukum Sule demam tak lagi ditaati.
Tak sebanding dengan harga jual jangkrik di daerah sentra itu. Yang ditimbang secara kiloan. Yang kadang-kadang di bawah 25-an. Bahkan belasan.
Sementara peternak banyak yang mengeluh. Harga jual jangkriknya terus jatuh. Dan pengepul yang dianggap ngacir. Ketika produksi jangkrik berlimpah dan banjir.Â
Jadi terpikir untuk ikutan memelihara indukan. Sebab, memproduksi telur jangkrik itu tak terlalu susah. Kalau laku, untungnya berganda. Selama ini produsen terbanyak berasal dari seputaran Jawa Timur. Dan mereka mendominasi.
Padahal Jakarta, Kalimantan dan Papua juga Indonesia. Oh ya! Di Papua lebih untung dijual muda daripada dijadikan indukan. Wajar kalau lebih untung membeli saja telurnya.
Terus ada yang bilang: tak mudah menjualnya. Ya! Kalau tak rela menjual murah. Walaupun tak harus banting harga terlalu rendah.
Pengalaman saya, 12 kilogram indukan jangkrik bisa menghasilkan hampir setengah kilogram telur setiap harinya. Produksi maksimal bisa sampai dua mingguan.
Berarti bisa memperoleh total telur 6 kilogram. Itu hitungan minimal. Kalikan dua ratus. Sejuta dua ratus. Hasil dari 12 kilo. Sementara sisa indukan yang menyusut pasti masih ada harganya. Minimal digoreng krispy sebagai asupan gizi.Â
Jadi, nilai jangkriknya 100 ribu perkilo. Kenapa masih terus kompak menahan harga jual? Kalau bisa agak murah harganya, biarlah saya yang di Kalimantan berprinsip seperti peternak Papua. Membeli saja telurnya.Â
Atau apakah aku harus ikut memproduksinya? Dengan ongkir gratis se-Indonesia!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H