Habean adalah nama kamp atau pangkalan yang diambil dari nama sebuah sungai kecil di perhuluan Sungai Kapuas. Yang berada di sekitar titik koordinat 1.322260,114.010939. Veteran pencari gaharu Kapuas Hulu pasti tau tempat itu. Saya termasuk salah satu yang ikut berlaga. Itu terjadi di Tahun 1992.
Perjalanan dimulai dari Putussibau, ibukota Kabupaten Kapuas Hulu. Kabupaten paling ujung di Kalimantan Barat. Kami berangkat menggunakan long boat berbody kayu. Yang saya tumpangi bermesin 40 PK. Ada juga rombongan lain yang menggunakan 15 PK. Mesin bertenaga kecil itu akan kesulitan melawan terjangan arus jeram di perhuluan Sungai Kapuas yang ganas.
Pada hari pertama perjalanan kami hanya sampai di Nanga Lapung. Sebuah kampung kecil yang dihuni oleh mayoritas Suku Dayak Punan. Padahal biasanya satu hari atau sekitar 8 jam perjalanan bisa sampai ke Nanga Bungan. Itu terjadi bila kondisi airnya tidak berarus deras. Yang dikarenakan banjir akibat hujan di perhuluan.
Hari kedua perjalanan dilanjutkan. Sebelumnya barang bawaan dan logistik perbekalan wajib ditutup rapat menggunakan terpal plastik. Mengantisipasi terpaan air setelah melewati Nanga Bungan. Pemukiman resmi terakhir yang didiami Suku Punan. Di hulunya, hampir setengah dari perjalanan berupa tanjakan jeram yang seram. Yang airnya tak henti menyiram. Medan pertama adalah Gurung Lapan.
Gurung Lapan berasal dari kata gurung delapan. Yaitu rangkaian delapan jeram yang dalam bahasa daerah kami disebut gurung. Untuk melewatinya, selain harus terampil dan pemberani juga harus siap lelah jiwa dan raga.
Kadangkala terlebih dahulu perahu harus dikosongkan. Minimal dikurangi muatan dan beban. Bila kondisi airnya pas, bisa langsung tancap gas. Menanjak arus deras. Perahu dikendalikan oleh dua orang. Satu duduk di depan. Bersiaga dengan dayung di tangan. Membantu meluruskan haluan. Satu orang lagi mengendalikan mesin dalam posisi berdiri. Sementara yang lainnya mengangkut barang bawaan dari tepi.
Bila kondisi air tidak dapat dikompromi, mau tak mau perahu harus ditarik melangkahi batu. Setelah semua barang terkumpul di hulu, perjalanan dimulai baru. Namun beberapa meter kemudian perahu harus merapat lagi ke tepian. Isinya lagi-lagi dikosongkan. Sungguh melelahkan.
Bila kondisi air buruk, tidak menguntungkan, maka bongkar muat bisa terjadi sama dengan jumlah gurungnya. Delapan kali. Tetapi, walaupun begitu, biasanya hari itu perjalanan akan sampai juga ke Gurung Matahari. Gurung dengan perbedaan permukaan air paling tinggi yang dilewati pekerja yang mendulang emas atau mencari gaharu ke hulu.
Untuk melewati Gurung Matahari perahu wajib digeser beramai-ramai melangkahi batu. Mesin dipikul sendiri oleh salah satu anggota rombongan yang mampu. Kekuatan memikulnya seperti bertenaga hantu. Logistik dan barang bawaan diangkut bersama. Bila hari masih memungkinkan, perjalanan dilanjutkan. Tapi lebih banyak yang memilih bermalam di situ.
Gurung Matahari merupakan penyangga air. Layaknya sebuah bendungan. Hingga permukaan air di perhuluannya agak landai dan tenang. Sedikit melewati jeram-jeram ringan. Jeram yang cukup diperhitungkan hanya Gurung Halebang.
Dulu, untuk melewatinya perahu harus dalam keadaan kosong. Barang dipikul melewati jalan setapak yang berjarak sekitar dua ratusan meter. Kemudian menyeberangi sungai kecil, meniti sebatang pohon besar yang sengaja ditebang tumbang melintang. Anak muda sekarang lebih berani. Walaupun harus bolak-balik, penumpang dan barang bisa diangkut tanpa harus diturunkan dari sampan.
Siangnya kami sampai ke pangkalan Habean. Dua puluhan pondok beratap dan berdinding terpal plastik, ada juga berdinding kulit kayu, berjejer sepanjang bantaran sungai. Kedatangan kami disambut tegur sapa bercampur canda kenalan yang telah lebih dulu di sana. Atau yang baru turun dari rimba. Riuhnya kamp membuat kami seperti saudara.
Kami memasak untuk makan menghadap malam. Ada yang memasang pukat. Ada yang memancing ikan. Targetnya semah, ikan yang lezat luar biasa. Dapat bantak, atau palau disikat juga. Sementara cucakrawa bersahutan di seberang kamp. Ditimpali berisiknya murai batu. Naluri perburunganku menggebu-gebu.
Mengingat tujuan utamanya adalah mencari gaharu, maka king kling kung klung yang merdu hanya dinikmati dengan syahdu. Disaksikan asap rokok dan wanginya kopi. Sambil memikirkan aksi berat esok hari. Yaitu mendaki bukit menuruni lembah. Berjalan kaki berhari-hari. Berdiam di hutan sebulanan. Bergerilya mencari penghidupan di pedalaman Kalimantan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H