Kota yang Gagap
Asap menembus mata. Membawa gelombang laut senja. Malam luka tanpa rembulan muda. Hujan hujan yang berlari di bawah kaki bukit. Seperti mengajakmu bermain. Tapi itu ilusi kecerdasan dalam pola dan prediksi logaritma. Benar kata seorang penyair, hujan telah menjadi logam. Kita menjumpai reruntuhan isi kepala dan tumpahan cairan otak depan. Diam diam kita berjalan, entah kemana. Menembus asap.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!