Proses akhir dari studi di satu universitas adalah “lulus” dan tak lama berselang diresmikan dalam satu acara “wisuda”. Lajimnya orang-orang yang menempuh kuliah, lulus adalah garis finis dari perjalanan studi kita dan wisuda adalah tempat pemberian tropi atau piala selama kita menempuh kuliah (sekitar) 4 tahun lamanya. Yah, wisuda adalah proses akhir yang pasti akan disambut suka cita oleh setiap mahasiswa tanpa terkecuali, baik Sarjana, Megister, atau Doktor.
Wisuda merupakan akhir dari proses studi kita. Tapi sejatinya wisuda bukanlah proses akhir, tapi garis star dari pertempuran kita sebagai manusia dan seorang intelektual untuk menaklukan lingkungan, mendapatkan pekerjaan, mulang tarima kepada ibu bapak, dan kita harusnya sudah benar-benar berlepas dari menggantungkan hidup pada kedua orang tua kita.
Sudah semestinya ketika kita diwisuda, kita harus menanggalkan dari ketergantungan kepada orang tua kita.
Sudah cukup dari mulai kita sembilan bulan berada dirahim ibu, dari semenjak lahir diurus oleh ibu dan bapak, sampai beranjak remaja, dan terakhir kita kuliah. Sesudah kuliah beres, masih kah kita akan terus bergantung pada orang tua?
Sudah seharunya, setelah bergelar sarjana, kita harus mulai menanggalkan kertergantungankita kepada orang tua, kita harus menjadi dewasa dan mandiri dalam segala hal, termasuk dalam urusan finansial. Biarkan orang tua kita memberikan perhatian kepada adik-adik kita, dan kita pun sudah seharunya membalikan diri; memberikan perhatian kepada ibu dan bapak, juga adik-adik kita.
Setelah wisuda dan bergelar sarjana, mau tak mau kita harus sudah bisa menghasilkan uang sendiri, mulai bekerja dengan ilmu-ilmu yang sudah kita dapatkan, menabung untuk membantu orang tua dan tentu saja yang lebih penting menyiapkan biaya pernikahan kita. Dari sinilah, ijazah dan ilmu kita selama studi kurang lebih 4 tahun dipertaruhkan, pekerjaan apa yang akan kita dapatkan?
Lalu mungkin dalam diri kita bertanya-tanya sendiri. Apakah keilmuan yang diajarkan di bangku kuliah benar-benar sudah kita dapatkan? Bisakah kita menjadi seperti yang tertera di ijazah kita? Sarjana Sastra? Sarjana Humaniora, atau Sarjana-Sarjana lainnya? Atau justru kita tidak tau kemana arah dari sesudah kuliah? Ijazah kita hanya sebatas simbol, dan keilmuan kita benar-benar kurang?
Mungkin harus dihindari oleh siapapun itu mahasiswa. Jangan sampai terjebak dengan sarjana-sarjanaan, misalnya kita kuliah di jurusan Sunda, tapi keilmuan kasundaan kita tidak semegah gelar yang kita dapatkan. Yah, mau tak mau kalau seperti itu kita tidak bisa bersaing dengan yang lainnya.Ironis juga kalau sampai terjadi seperti ini, jangankan keilmuan budaya kasundaan, bahasa sundanya sendiri kita tidak benar-benar tahu. Jangan sampai kita kuliah, tapi kita tidak benar-benar serius dalam menyelami widang ilmu kuliah kita.
Satu keilmuan memang tidak diukur dengan satu bahasa, tapi yang terpenting kita harus benar-benar mengerti jalan dan apa yang kita ambil. Jangan sampai kita berada air, tapi takut dan tidak mau basah. Atau jangan kita seperti monyet nu ngagugulung kalapa, tahu itu kelapa, tapi kita tidak benar-benar tau apa isi dari kelapa itu sendiri, hanya cangkang nya saja, hanya simbol nya saja. Isinya kita tidak benar-benar tahu.
Mau tak mau, kalau jalan kehidupan kita, jalur dan besik keilmuan kita ada dalam satu ranah ilmu (misalnya budaya), kita harus benar-benar paham terhadap budaya itu sendiri. Selam 4 tahun kita kuliah, mungkin sudah lebih dari cukup untuk benar-benar mengerti dan tahu tentang budaya itu sendiri. Karna di masa depan pasti akan ada yang bertanya tentang keilmuan yang telah kita perdalam. Dan yang lebih penting, kita akan butuh terhadap hasil dari kuliah kita selama 4 tahun. Baik itu untuk urusan pekerjaan, ataupun urusan lain di masarakat. Itu semua hanya perkara waktu.
Semoga semua sarjana-sarjana yang ada dari almamterku, paham dan benar-benar mengerti dari keilmuan yang telah mereka ambil. Dan untuk mereka yang masih berjuang dibangku kuliah. Harus benar-benar daria dan serius dalam menimba ilmu. Pa Hidayat Suryalaga pernah berkata seperti ini, “Manusa Sunda mah kudu saperti konéng; ngarana konéng, rupana konéng, pungsina ogé keur ngonékeun jeung konéng.” Yah, ini mengisaratkan kita, apa pun identitas yang ada pada diri kita, hendaknya seperti identitas tersebut, jangan sampai kita tidak benar-benar paham pada identitas dan jatidiri kita.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H