[caption id="attachment_355625" align="aligncenter" width="653" caption="Ilustrasi/Kurator (KOMPAS.com)"][/caption]
Pagi-pagi saya mengikuti siaran radio, yang menampung pendapat orang tentang tingkah para anggota legislatif dan calon pemimpin mendatang. Beberapa ibu menelepon radio itu dan menyatakan sangat prihatin terhadap berbagai komentar tokoh politik, yang cenderung men-downgrade intelektualitas mereka.
"Kami itu sebetulnya menyayangi Pak Mahfud MD, di partai manapun beliau berada, karena rekam jejaknya yang sangat baik selama menjadi Ketua MK. Tapi kenapa beliau sekarang kok begitu ya," kata seorang ibu yang merasa prihatin dengan pernyataan-pernyataan mantan Ketua Mahkamah Konstitusi itu.
Mahfud bergabung bersama koalisi Prawobo-Hatta. Bahkan ia bertanggung jawab atas lembaga pemenangan pemilu koalisi itu. Tetapi dalam beberapa kali terakhir, pernyataannya dinilai banyak pihak tidak selalu mencerminkan intelektualitasnya atau sebagai seorang leader. Misalnya yang terakhir tiba-tiba ia menarik Bung Karno ke ajang kampanye pilpres dan bahkan menyebut Pahlawan Proklamasi itu bertanggung jawab atas pembantaian manusia sehingga Bung Karno juga adalah pelanggar hak asasi manusia.
Penarikan Bung Karno ke carut-marut kampanye hari ini itu karena Mahfud mungkin ingin membela Prabowo dari tudingan sejumlah lawan politiknya sebagai pelanggar HAM, terkait dengan peristiwa penculikan para aktivis tahun 1998 yang dibuktikan dengan munculnya keputusan Dewan Kehormatan Perwira (DKP).
Tentu akan banyak orang tersinggung dengan pernyataan Mahfud itu. Bukan hanya keluarga besar Bung Karno, dan lawan politik Prabowo, tapi bahkan mungkin para pencinta Prabowo sendiri tidak merasa nyaman dengan pernyataan tersebut karena tidak relevan diangkat lagi, apalagi oleh seorang tokoh sekaliber Mahfud MD.
Dalam peristiwa terakhir, tiba-tiba seorang pimpinan partai juga menuduh Kompas dibayar survei tentang calon presiden-nya oleh pihak Jokowi. Dalam survei itu, memang Jokowi sedikit lebih unggul elektabilitasnya daripada Prabowo. Tapi tudingan itu tanpa dasar, dan saya tahu bahwa Kompas dalam melakukan surveinya dibiayai oleh Kompas sendiri.
Kompas cukup mampu mengeluarkan dana untuk membiayai survei yang dilakukannya pada level nasional. Kompas tidak perlu meminta-minta untuk melakukan proyek jurnalistiknya. Kompas menganggap survei politik dalam rangkat pilpres ini sebagai bagian dari upaya jurnalisme presisi. Jadi tudingan itu tanpa dasar.
Pertanyaannya adalah mengapa para inteletktual itu membuat pernyataan-pernyataan yang tidak sepadan dengan kepribadiannya selama ini, hanya gara-gara ia berada di satu partai politik tertentu dan berkeinginan untuk memenangkan pemilu.
Tidak sadarkah bahwa kita ini semua kawan. Kawan seperjuangan untuk menjadikan Indonesia lebih baik. Hanya saja kamu di partai itu, saya di partai ini. Mereka di sana, kami di sini. Wadahnya saja yang berbeda, tetapi lapangan perjuangannya sama, ya Indonesia. Tujuannya juga sama, untuk memakmurkan rakyat dan bangsa Indonesia.
Menimbang beberapa aspek yang berkembang menjadi agak aneh hari-hari ini, maka saya curiga kita kerasukan setan, yang menghembuskan pikiran bahwa : kalau bukan kita, mereka musuh kita. Karena itu, mereka harus "dibunuh".