Mohon tunggu...
Dr.Taufik Hidayat
Dr.Taufik Hidayat Mohon Tunggu... Dosen - dokter forensik

Seorang dokter yang suka jalan-jalan,makan-makan,baca-baca, foto-foto, nonton-nonton dan nulis-nulis

Selanjutnya

Tutup

Book

Memang Jodoh (A Novel by Marah Rusli)

30 Juni 2023   22:06 Diperbarui: 30 Juni 2023   22:09 102
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Cover novel Memang Jodoh terbitan Mizan ini terlihat cantik dipandang, namun kisah yang dituturkan oleh Marah Roesli didalamnya memanglah rumit untuk ukuran zamannya; yaitu lebih kurang seratus tahun yang lampau. Hidup pada awal abad ke-20 saya rasa cukup menantang, karena pada masa tersebut tumbuh subur berbagai ideologi besar dunia, termasuk kritikan terhadap adat istiadat matrilineal yang dianut oleh sekelompok suku bangsa di bagian barat pulau Sumatera. Tokoh utama yang hidup didalam novel ini adalah Marah Hamli dan Radin Asmawati. 

Marah Hamli, pemuda bangsawan Padang berniat melanjutkan studi ke negeri Belanda setamatnya dari Sekolah Raja/Hoofden School Bukittinggi, namun tidak direstui ibundanya. Pada akhirnya, Marah Hamli melanjutkan ke sekolah pertanian di Bogor. Radin Asmawati, merupakan seorang anak bangsawan Sunda di Bogor. 

Disini saya mulai menemukan ketertarikan akan perangai masa lalu orang Indonesia yaitu menemui dukun tenung/ramal untuk mengetahui hal-hal gaib atau jodoh atau rezeki. Pada saat Radin Asmawati menemani bibinya menemui seorang dukun, sang dukun  menyatakan bahwa Radin Asmawati akan segera bertemu dengan jodohnya sesegera mungkin setelah ramalan selesai. Dan satu jam kemudian, Radin Asmawati bertemu dengan Marah Hamli disebuah stasiun.

Ayah Din Wati, panggilan akrab Radin Asmawati memiliki seorang guru spiritual, saat Din Wati kecil, si guru tersebut meramal jodoh Din Wati kelak, yaitu seorang pemuda dari tanah Seberang dan setelah si guru tersebut nantinya mati, dia akan bereinkarnasi menjadi anak pertama Din Wati. Adapun ayah dan ibu Din Wati inipun kelak akan bereinkarnasi menjadi anak-anak adik perempuan Din Wati. Pernikahan antar orang yang sebangsa menjadi topik utama didalam novel ini. Seorang bangsawan hendaklah berkawin mawin sesama bangsawati. Adat istiadat Sunda saat itu mengutamakan hal tersebut, namun demikian dikarenakan adat istiadat matrilineal yang kental, masyarakat adat Padang memiliki pandangan tersendiri terhadap perkawinan campur seorang Padang dengan non-Padang. 

Seorang bangsawan Padang hendaklah menikahi seorang atau beberapa orang bangsawati Padang yang sederajat. Bangsawan Padang diperebutkan benihnya oleh sesama orang Padang. Adalah lazim seorang lelaki Padang kawin dengan sepupunya (pulang kabako) dan didalam novel Memang Jodoh disampaikan dengan baik bahwa biaya hidup Marah Hamli dan ibunya menjadi tanggungan Mamak-nya (saudara lelaki ibu Hamli) dengan harapan dimasa depan, Hamli menikahi salah seorang anak perempuan sang mamak. Dan ternyata Hamli yang berpikiran modern dan antipoligami menolak permintaan mamaknya, yang berakibat Hamli dibuang sepanjang adat. Mamaknya tiada mengakui Hamli sebagai keluarganya, begitupun dengan ibu Hamli dan nenek Hamli (ibu si mamak itu sendiri) tidak diakui lagi sebagai keluarga orang-orang di Padang.

Nah, jika lelaki Padang tersebut kawin dengan perempuan non-Padang, maka adalah wajib si lelaki tersebut berpoligami dengan menikahi perempuan Padang (untuk menjaga adat agar jangan lapuk). 

Selama pernikahan Marah Hamli dengan Din Wati, silih berganti orang-orang Padang menyorongkan anak gadisnya agar diperistri oleh Hamli, karena tahu bahwa Marah Hamli adalah seseorang yang berbangsa besar, tentunya akan menjadi sebuah kebanggaan sebuah keluarga jikalau anak gadisnya diperistri keturunan raja besar, walaupun tidak sebagai istri pertama.

Sifat buruk orang yang mengaku beradat juga terlihat pada seorang kawan Hamli, yang dipaksa keluarganya berpoligami. Pada akhir hayat si sahabat tersebut, istri-istri dan saudara-saudara perempuannya berebut harta warisan. Di Padang kala itu, tanggungjawab seorang laki-laki didalam rumahtangganya dibilang tidaklah ada selain untuk membuat anak. Anak-anak dan istrinya menjadi tanggungan mamak (saudara laki-laki istri). Sehingga diibaratkan peran seorang suami didalam rumah tangga tradisional ibarat abu diatas tunggul, artinya tidak kuat, sedikit saja angin berhembus, si abu langsung terbang menghilang.

Oiya, perjodohan Marah Hamli dengan Din Wati ini memanglah perjodohan oleh semesta kosmik. Saat mengandung, ibu Hamli pernah bermimpi mendapat hadiah seekor burung cantik dari seberang yang ditakwilkan bahwa jodoh Hamli kelak adalah seorang perempuan seberang. Selama di Bogor, Hamli tinggal bersama neneknya, sementara ibunya di Padang dan ayahnya (yang sudah bercerai) tinggal dengan keluarga barunya di Medan.

Begitu buruknya pemahaman adat dan prilaku masyarakat saat itu, adalah lazim jika seseorang tidak saling menyukai, mereka akan saling berkirim tinggam, sihir dan guna-guna. Lagi-lagi digambarkan bahwa keluarga Din Wati selain bangsawan, juga memiliki jin penjaga berupa 2 ekor macan. Hal ini juga terbaca saat Hamli dan Din Wati tinggal di Blitar, saat letusan gunung Kelud melahap Blitar dan sekitarnya, Hamli dan Din Wati selamat berkat tuntunan gaib macan-macan tersebut. 

Dan kebusukan hati terkait keinginan untuk menaklukan seorang lelaki oleh keluarga seorang perempuan adalah dengan menikahkan dengan gaib anak gadis tersebut dengan lelaki yang diingininya. Dari pihak keluarga besar Din Wati sendiri juga ada pertentangan terkait pengalaman bermenantukan orang seberang, namun penolakan mereka tidak sehebat penolakan kaum kerabat Marah Hamli di Padang. Selain menolak orang non Padang sebagai istri Hamli, alasan lain adalah fitnah yang dihembuskan oleh kerabat Hamli yang naksir Din Wati. 

Gelar Nyai didepan nama Din Wati dikiranya adalah nyai-nyai pelampiasan orang-orang Belanda, padahal Nyai itu didalam adat Sunda sama dengan upik dalam adat Minangkabau. Dan pernikahan Hamli dan Din Wati ini sampai diolok-olok oleh sebuah koran lokal di Padang. Saya sendiri benar-benar lelah mengikuti drama kehidupan masa lalu ini. Kayaknya setiap orang berpikiran kawin dan kawin sahaja semenjak usia belia. Tiada kebebasan berekspresi dan respect for autonomy terutama bagi kaum perempuan. Dan pada akhirnya rumahtangga Marah Hamli dan Din Wati berkekalan sampai maut memisahkan.

Sekian---TH

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Book Selengkapnya
Lihat Book Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun