Ada satu kisah yang terjadi menjelang pemilu 1997. Pemilu pertama yang saya ikuti setelah memutuskan terjun ke dunia politik. Terjadinya di sebuah kios fotokopi milik seorang ustadz.
Alkisah, waktu itu saya harus memfotocopy beberapa dokumen seperti Ijazah, Surat Keterangan Kelakuan Baik, dan lain-lain sebagai persyaratan seorang calon anggota dewan. Kerennya sering disebut caleg, calon anggota legislatif.
Hari itu kebetulan sang ustadz  yang mengerjakan pemotocopian itu. Sambil bekerja rupanya beliau membaca dokumen yang difotocopi, dan... tiba-tiba berucap, "saya tak mau ikut berpolitik, karena politik itu tipu muslihat".
Memang, bagi banyak orang politik itu kotor. Membicarakannya saja sudah alergi, apalagi terlibat didalamnya. Kenapa? Karena politik itu penuh tipu muslihat seperti pernyataan sang ustadz di atas. Dalam politik tak ada teman abadi, yang ada hanyalah kepentingan abadi. Banyak lagi ungkapan lain yang menunjukkan bahwa politik itu adalah sesuatu yang sangat buruk. Dan karena itu harus dihindari.
Saat mendengar pernyatan sang ustadz itu, saya terhenjak, bengong, dan tertegun.  Saya sungguh  terkejut dan tak tahu harus ngomong apa. Namun,  tak berselang begitu lama, tiba-tiba muncul semacam bisikan untuk memberikan jawaban.
Inilah jawabannya, Â "Betul Pak Ustadz, politik itu memang kotor. Â Di sana memang banyak tipu muslihat, tetapi...saya juga bingung, kalau seandainya orang-orang baik seperti Ustadz, orang-orang pintar atau orang -orang yang berkualitas tak ada yang mau terjun ke dunia politik, lalu siapa nanti yang akan duduk mewakili kita di parlemen".
Saya terus nyerocos, "Sementara pemilu pasti dilaksanakan. Partai politik adalah suatu keniscyaan. Kalau tak ada orang baik  di dalamnya, maka tentunya para premanlah yang menjadi pengurus parpol.  Premanlah yang menjadi caleg. Tentunya nanti  premanlah yang menjadi wakil rakyat. Berarti yang melaksanakan rapat membahas berbagai program pemerintah dalam APBN/APBD adalah para preman atau para bandit, kira-kira bagaimana ya hasilnya?"
Kini giliran sang ustadz yang terdiam, bengong, tak menyangka mendapat jawaban demikian. Lama terdiam, akhirnya beliau ngomong, "Aduh, sayang saya sudah tua!"Â
Alhamdulillah pada pemilu 1997 itu saya terpilih menjadi anggota DPRD Kota Banjarmasin. Dua tahun kemudian (1999) pemilu lagi, karena Orde Baru  jatuh, sehingga pemilu dipercepat. Saya terpilih lagi. Lima tahun kemudian (2004) saya terpilih lagi.Â
Bahkan mendapat kepercayaan sebagai ketua DPRD Kota Banjarmasin. Perjalanan 12 tahun itu nampaknya harus menjadi pembuktian jawaban saya kepada sang ustadz, bahwa politik itu tidak selamanya kotor. Politik kotor justru karena kita yang mengotorinya.
Berikut ini salah satu kisah nyata saat saya menjadi wakil rakyat. Semoga kisah nyata ini  bisa mewakili pembuktian bahwa tidak selamanya politik itu kotor. Masih banyak orang baik di parlemen kita. Namun, sering kita kita tidak tahu, karena kurang publikasinya. Wakil rakyatnya  kurang pandai publikasi dan wartawan sering kurang senang mempublikasikan hal-hal positif itu, hehe