Oleh Taufik Hidayat
Pada setiap perhelatan demokrasi, apakah pemilu legislatif ataukah pemilihan kepada daerah (PILKADA) seperti saat ini, dibalik sosialisasi ataupun usaha lainnya untuk pemenangan calon atau pasangan calon, pasti terdapat sejumlah orang yang sangat sibuk bekerja. Mereka itulah yang sering disebut dengan istilah “tim sukses,” walaupun banyak juga yang tidak suka dengan penyebutan itu.
Kenapa?
Karena kebanyakan yang sukses adalah mereka, bukan pihak yang menggunakan jasa mereka.
Kok bisa?
Karena dari namanya saja tim sukses, berarti yang sukses kan si tim, bukan si caleg atau pasangan cagub cawagub, cabub dan cawabub ataupun cawalkot dan cawawalkot. Sehingga kemudian banyak yang merasa lebih sreg menggunakan penyebutan “tim pemenangan”. Tugasnya jelas untuk memenangkan, bukan untuk sukses, yang kadang lebih banyak suksesnya untuk tim sendiri.
Ya, bukan rahasia umum lagi, bahwa banyak orang-orang yang menjadi tim sukses betul-betul sukses, walaupun pihak yang didukungnya tidak sukses.
Sebagai pengurus partai politik di tingkat provinsi, beberapa tahun yang lalu saya pernah diterjunkan sebagai jurkam pasangan calon bupati dan wakil bupati di salah satu kabupaten di Kalimantan Selatan. Partai kami berkoalisis dengan partai lain mengusung pasangan itu. Dari partai kami calon bupatinya, sedang dari mereka calon wakil bupati.
Suatu hari, ketika duduk-duduk istirahat habis kegiatan kampaye, saya sempat menguping pembicaraan teman-teman tim sukses yang kebetulan berasal dari partai koalisi tersebut.
“Santai saja, memang atau kalah, kita tetap menang juga,” kata salah satu dari mereka
“Kok bisa?” Sahut yang lain