Ramadan masa kecil, hmm. Alangkah manisnya. Sejak saat itu aku tahu apa arti orang yang punya dan tidak punya.
Orang yang punya, dalam hatiku, bisa memiliki yang ia punya. Bisa memberi. Itu yang indah. Itu yang aku iri. Oh, perlahan aku memahaminya.
Ramadan kecilku. Kulalui dengan kenangan pada sosoknya. Sosok yang membuat aku merasakan indahnya Ramadan.
Dia adalah guru ngaji kami. Anak lorong gang sempit di tepian kuburan Muslim.
Namanya Pak Ridwan. Kami tidak memanggilnya Ustadz karena dia tidak menginginkannya. Dia telah pergi haji, karena dia orang berpunya. Tapi dia tidak ingin dipanggil Pak Haji. Dia masih muda dan enerjik.
Namanya saya samarkan, biarlah hanya kebaikannya yang kekal bukan namanya. Pak Ridwan meski sibuk berjualan ia menyempatkan diri mengajari kami baca Alif Na Ta di musala berlantai 2. Bila tidak sempat ia akan meminta guru pengganti menemani kami belajar di musala. Semuanya gratis.
Ayah ibu Pak Ridwan orang kaya. Rumahnya termasuk paling bagus di gang rumah kami. Ia berjualan susu kalengan dan aneka barang di sebuah supermarket. Ia menyuplai susu kaleng dan susu bubuk dalam dan luar negeri.
Tatkala Ramadan datang. Pak Ridwan selalu membuat ceria musala. Ia meramaikan musala dengan sayembara. Siapa yang beroleh penuh puasa Ramadan baginya hadiah yang sudah disiapkan.
Hati kami penuh bahagia. Kami bercakap-cakap meyakinkan diri bahwa kamilah yang akan mendapatkan hadiah itu. Begitupun aku, aku tentu menginginkan hadiah itu. Hadiah yang membuat khayalan kami terbang ke angkasa.
Tidak hanya itu, ketika bulan Ramadan datang. Pak Ridwan akan meramaikan musala dengan duduk bersama di lantai bawah. Imam salat, makmum taraweh, tua muda, laki-laki, wanita duduk melingkar menempeli dinding. Menunggu ritual yang setiap tahun kami lalui.
Pemuda atau remaja masjid datang dengan cangkir alakadar mengedarkannya di hadapan tua muda. Kami menunggu dengan takzim. Sebagian lain tak sabaran. Demikianlah anak-anak. Sesekali kami saling pandang satu sama lain.