Mohon tunggu...
Taufik Hasyim
Taufik Hasyim Mohon Tunggu... -

Mahasiswa Jurusan Pendidikan Teknik Elektro UNM Makassar. Tertarik pada hal-hal yang berbau politik, pariwisata, adat, sosial kemasyarakatan dan sepakbola.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Mengharap Rupiah di Usia Senja

15 April 2015   00:56 Diperbarui: 17 Juni 2015   08:05 291
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14290345141266793746

Saat itu menjelang siang, matahari mulai terik di sekitaran fly over bilangan jalan Urip Sumiharjo, Makassar. Di keramaian lalu lintas kendaraan yang lalu lalang tampak seorang wanita tua sibuk menjajakan koran. Umurnya kira-kira 60-an tahun. Tiap kali lampu merah menyala, dengan gesit wanita tua itu menawarkan korannya.

“Pak ! Bu ! Koran ! Koran ! 3500 rupiah saja ! “. Wanita itu menawarkan dengan ramah.

Tak terlihat sedikitpun rasa kecewa meski berulangkali ditolak calon pembeli. Saya kemudian tertarik untuk mengenal wanita hebat ini lebih jauh. Setelah memperkenalkan diri dengan ramah, saya mengajak wanita tua nan ramah ini mencari tempat ngadem untuk berbincang. Sambil meneguk sebotol minuman dingin, dia mulai berkisah.

[caption id="attachment_360826" align="aligncenter" width="448" caption="dok. pri"][/caption]

Dadi, demikian nama lengkapnya. Semenjak kepergian mendiang suaminya sepuluh tahun silam, wanita tangguh ini harus berjuang menafkahi keluarganya. Selain seorang cucu, nenek Dadi harus menghidupi 5 orang keluarga dekatnya yang ikut menumpang tinggal bersamanya. Tak banyak keterampilan lain yang bisa diandalkan selain tenaganya yang mulai renta. Nenek Dadi hanya sempat mengenyam pendidikan formal hingga kelas 2 SD.

“ Awalnya saya sempat berdagang sayur keliling sekitar rumah memakai gerobak pinjaman tetangga. Tapi tak lama usahaku gulung tikar, Nak ! Modal habis karena banyak tetangga yang ngutang, ambil sayur jualan duluan. Katanya nanti belakangan dibayar tapi buktinya hingga sekarang gak dibayar,” keluh nenek Dadi yang mengaku berasal dari Limbung, Gowa.

Kondisi ekonominya semakin sulit saat anak tunggalnya memilih merantau ke Ambon beberapa tahun lalu. Padahal menurut nenek Dadi, anak semata wayangnya itu cukup membantu menopang ekonomi keluarga karena saat itu sempat bekerja jadi tukang bentor. Namun nenek Dadi tidak boleh berpangku tangan. Berkat bantuan salah satu tetangganya yang baik hati, Nenek Dadi diajak menjadi penjaja koran di lampu merah fly over. Pekerjaan yang kini menjadi pengharapan hidup Nenek Dadi sehari-hari. Demi tuntutan perut, jawaban klise yang meluncur dari mulut sang Nenek.

“Hasil menjajakan koran tak banyak memang. Maksimal saya hanya bisa dapat 30 ribu rupiah per hari. Untuk ukuran hidup zaman sekarang memang tak seberapa tapi setidaknya asap dapur saya tetap ngebul. Terlebih saya tidak mau menghinakan diri dengan menjadi peminta-minta,Nak !, “ terang Nenek Dadi dengan suara sedikit bergetar.

Tak lama, nenek Dadi minta pamit kembali berjualan. Setumpuk koran di tangannya mesti laku terjual demi sesuap nasi. Walau tulang badan mulai membungkuk tapi semangat untuk berjuang “mengharap rupiah” begitu luar biasa. Betul kata nenek Dadi, tak ada guna meratapi nasib. Tak ada faedah jika hanya berpangku tangan.. menunggu uluran tangan.

Saya kagum dengan semangatmu, Nek !.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun