Mohon tunggu...
Taufik Hasyim
Taufik Hasyim Mohon Tunggu... -

Mahasiswa Jurusan Pendidikan Teknik Elektro UNM Makassar. Tertarik pada hal-hal yang berbau politik, pariwisata, adat, sosial kemasyarakatan dan sepakbola.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Mengenal Suku Massenrempulu di Kabupaten Enrekang

10 Juni 2013   22:13 Diperbarui: 4 April 2017   18:03 8340
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13708766301836950859

Di Kabupaten Enrekang, Sulawesi Selatan, bermukim tiga suku: Enrekang, Duri, dan Maiwa. Ke-3 suku itu membentuk kesatuan yang disebut suku Massenrempulu. Massenrempulu, secara bahasa Enrekang, berarti melekat seperti beras ketan. Kata yang digunakan untuk menunjukkan kesatuan dari ke-3 suku tersebut. Dalam bahasa Bugis, Massenrempulu disebut Massinringbulu, yang berarti jajaran gunung-gunung. Suku Massenrempulu memang tinggal di daerah yang terdiri dari jajaran gunung-gunung. Gunung yang paling terkenal dan sering dikunjungi para pendaki adalah gunung Latimojong.

Di daerah pegunungan banyak berdiri desa-desa suku Duri; suku Maiwa banyak bermukim di desa-desa yang berbatasan dengan Kabupaten Sidrap, dan suku Enrekang banyak bermukim di kota Enrekang. Selain berbeda wilayah mayoritas, bahasa suku Enrekang, Duri, dan Maiwa juga berbeda dialeknya, namun tetap akan bertemu dalam pengertian dan pengartian yang sama.

Banyak yang mengatakan, suku Massenrempulu merupakan kombinasi antara dua suku: Bugis dan Toraja. Namun, untuk membuktikan hal tersebut, dibutuhkan penelitian lebih mendalam. Yang jelas, suku Massenrempulu tidak memiliki adat yang macam-macam: kematian, pernikahan, pakaian, dan lainnya. Sangat berbeda dengan suku Bugis dan Toraja.

Dalam pernikahan, misalnya, suku Massenrempulu tidak punya upacara seperti mappacci, korontigi, lekka, dan lainnya. Keluarga perempuan juga sangat malu jika anak gadisnya dilamar dengan materi yang sangat mahal. Sangat berbeda dengan suku Bugis, bukan?

Jaman dulu, suku Massenrempulu punya agama animisme bernama Alu’ Tojolo. Namun, seiring dengan masuknya agama Islam, Alu’ Tojolo pun perlahan ditinggalkan. Terhitung hanya desa di wilayah Baraka yang penduduknya ada yang menganut Alu’ Tojolo. Mereka biasanya rutin melakukan pertemuan 1-2 kali sebulan dan mereka biasa melakukan ritualnya di gunung Latimojong.

Dulu, suku Massenrempulu juga memiliki stratifikasi sosial, yaitu bangsawan, menengah, dan rakyat jelata. Stratifikasi sosial tersebut kemudian dihapus oleh Kahar Mudzakkar ketika dia dan pasukannya menguasai Enrekang. Menurut Kahar, gelar Puang hanya milik Tuhan, manusia tidak pantas memilikinya.

Penghapusan tersebutlah yang membuat Andi Sose, teman Kahar Mudzakkar, meninggalkan Enrekang. Andi Sose merupakan satu-satunya orang dari suku Massenrempulu yang memakai gelar kebangsawanannya Andi dan dipanggil Puang. Andi Sose adalah pengusaha pemilik Yayasan Andi Sose dengan unit usaha seperti Universitas 45, Gedung Juang 45, dan lainnya.

Memang masih ada sebagian bangsawan di suku Massenrempulu dan mereka biasa dipanggil puang, namun mereka tidak pernah melekatkan gelar Andi pada nama mereka.

Saat ini, suku Massenrempulu menganut paham hidup sederhana. Mereka hidup dari bertani, berdagang, dan pegawai, sebagian lagi merantau ke Makassar, Toraja, Kendari, bahkan sampai ke kota-kota di Kalimantan hingga luar negeri.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun