Bulan April tiap tahunnya di negara ini merupakan bulan yang penting setara dengan event-event tahunan lainnya seperti puasa di bulan ramadhan, natal dan tahun baru di bulan Desember. Event yang dimaksud adalah Ujian Nasional (UN) bagi Pendidikan Dasar yang terdir dari Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP), dan Sekolah Menengah Atas (SMA). Tentunya sekolah-sekolah dan Kementrian Pendidikan merupakan event organizer dari acara ini.
[caption id="attachment_412137" align="aligncenter" width="496" caption="sumber tempo.co"][/caption]
UN merupakan sebuah tahapan akhir dari sebuah siswa yang menempuh pendidikan dasar. Diantara SD, SMP, dan SMA, UN SMA merupakan bagian yang paling sering terpantau oleh awak media. Menurut sejarahnya, UN yang sekarang ini mengalami perubahan sebagai satuan evaluasi mengikuti perubahan sistem pendidikan. Dari data yang penulis kutip dari okezone.com tanggal 31 Desember 2014, ada beberapa sistem ujian akhir yang pernah dilalui oleh siswa di ujung masa belajarnya.
Berawal dari Ujian Penghabisan di era awal kemerdekaan dikerjakan dalam bentuk essai. Selanjutnya berganti menjadi Ujian Negara yang penulis rasa merupakan cikal bakal dari format ujian akhir saat ini. Ujian Negara tersebut dikendalikan penuh oleh Pemerintah pusat sehingga seluruh siswa se-Indonesia mengerjakan soal yang sama. Ujian Negara berganti menjadi Ujian Sekolah, sekolah memilik peran penting dalam menentukan soal dan penilaian dan pemerintah pusat hanya menentukan peraturan secara umum mengenai Ujian Sekolah. Memasuki tahun 80an, sistem ujian akhir menjadi Ebta (evaluasi belajar tahap akhir) dan Ebtanas (evaluasi belajar tahap akhir nasional).Ebta merupakan evaluasi mata pelajaran non-ebatans dan pada masa ini sudah menetapkan standar bagi kelulusan dengan rata-rata nilai 6 bagi seluruh mata pelajaran meskipun ada nilai 3. Di tahun 2001 melalui Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas), Pemerintah Pusat mengganti Ebtanas dengan Ujian Akhir Nasional (UAN) dengan kompensasi yang diberikan kepada siswa apabila belum lulus dapat mengulang 1 minggu kemudian. 4 tahun kemudian format UAN digantikan dengan Ujian Nasional (UN). Berbagai standar ditetapkan baik per mata ujia dan keseluruhan. Mulai dari standar nilai 5,00 untuk seluruh mata pelajaran. Perubahan standar nilai dan mata pelajaran berubah pada tahun 2008 yaitu dengan nilai rata-rata 5,25 dan 6 mata pelajaran dengan 2 tipe soal, tipe A dan B. Perbedaan mendasar antara UAN dan UN selain dari standar nilai yang digunakan adalah tidak adanya ujian ulang bagi siswa yang tidak lulus. Jika siswa tidak lulus ujian pada masa itu maka harus mengambil Ujian Paket C untuk meneruskan pendidikan atau mengulang UN tahun depan. Sebuah pilihan yang sangat sulit bagi yang menjalani karena keduanya memiliki konsekuensi yang harus ditanggung. Penulis sendiri selama mengeyam pendidikan dasar melewati dua tahap yakni, UAN dan UN serta penulis memiliki teman sekolah semasa dulu yang tidak mengambil paket C saat gagal UN dan mengambil keputusan untuk mengulang tahun depannya.
Dilihat dari berbagai aspek mengenai ujian akhir, pada masa UAN adalah masa dimana seorang siswa mulai menggunakan Lembar Jawab Komputer (LJK) dalam mengisi jawaban ujian akhir. Masih teringat jelas dalam benak penulis dimana pensil tipe 2B menjadi sangat populer bagi para siswa yang pernah melakukan kegiatan meraut bagian depan pensil agar siap pakai saat ujian. Sistem LJK merupakan terobosan yang dilakukan kementrian terkait dalam mengoreksi jawaban siswa. Pemerintah provinsi melalui Dinas Pendidikan setempat menjadi pusat pengumpulan yang nanti akan diteruskan ke Kementrian Pendidikan dan dikembalikan lagi ke daerah ketika selesai untuk dikoreksi. Di awal sistem ini digulirkan, adaptasi terhadap sistem baru dalam menuliskan jawaban yang semula hanya menyilangkan jawaban yang dirasa benar diganti dengan sistem melingkari menggunakan pensil tipe 2B di sebuah lingkaran kecil yang jawaban tersebut akan menjadi salah jika arsiran pensil tersebut keluar atau tidak memenuhi garis lingkaran yang sudah benar, walaupun kita menjawab jawaban yang benar.
Setelah beberapa tahun berjalan muncul sebuah cara-cara baru dalam menghadapi UAN atau UN. Belajar tambahan di luar jam pelajaran adalah hal yang lumrah bahkan 1 bulan sebelum ujian berlangsung, sekolah sudah melakukan persiapan dalam bentuk uji coba (try out) kepada siswa bahkan pihak swasta pun –dalam hal ini adalah para penyelenggara Bimbingan Belajar (Bimbel)- juga ikut membantu dalam persiapan siswa sekolah menghadapi Ujian.
Berbagai cara yang sudah disebutkan sebelumnya adalah beberapa contoh dari kegiatan persiapan ujian akhir yang positif namun ada pula yang penulis atau bagi yang membaca tulisan ini menemukan sebuah fenomena dan kegiatan yang tergolong unik bahkan terkesan aneh serta jauh dari konteks belajar persiapan ujian. Karena persiapan yang dilakukan adalah persiapan secara psikologis dan mental dari siswa. Siswa seperti dihadapkan dengan sebuah ujian yang menentukan hidup dan mati, baik atau buruk, serta ataukah siswa tersebut adalah orang yang berhasil ataukah siswa tersebut gagal.
Sebagai contoh, pengajian rutin bahkan spiritual training dalam menghadapi UAN/UN bagi sekolah adalah kegiatan yang sering bahkan menuju ke arah wajib untuk diselenggarakan dengan harapan siswa dapat termotivasi dan semangat dalam melaksanakan ujian. Event yang dimulai dengan pemberian ceramah keagamaan oleh seorang pemuka agama ataupun seorang guru yang memberikan pandangan keagamaan mengenai seluk beluk kehidupan lalu dilanjutkan dengan renungan yang terkadang berujung dengan isak tangis dan raungan dari siswa mengenai dosa-dosa yang lalu. Dapat diambil kesimpulan yang sangat dangkal, sebelum Ujian Nasional ingat lah dosa-dosa sebelumnya, jika sudah ingat maka sesalilah maka UN akan berhasil.
Adapula ritual-ritual aneh yang dilakukan peserta ujian dan jauh dari kegiatan belajar mengajar misalnya pensil yang dibacakan doa-doa oleh pemuka agama terkenal, menggelar doa bersama dengan menghabiskan biaya yang tidak murah, mendatangi dukun dan “orang-orang pintar” guna mendapatkan petunjuk kadang yang tidak masuk akal,kunci jawaban, dan masih banyak lagi. Kegiatan yang tergolong berlebihan dalam menghadapi ujian tersebut tergolong ke dalam kegiatan yang menyesatkan kadang mengarah kepada syirik. Phobia terhadap UN pun semakin jadi dengan perhatian dari berbagai pihak yang mengambil dan memandang hal negatif terhadap pelaksanaan UN. Siswa dijaga ketat bahkan oleh pihak kepolisian dan beredarnya kunci jawaban yang dipercaya oleh siswa. Contoh kejadian diatas merupakan sisi lain dari pelaksanaan UN.
UN-IBT
Pada tahun 2015, Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (DIKDASMEN) memberlakukan UN menggunakan komputer dan online atau dikenal sebagai UN-IBT (internet based test). Terobosan baru UN-IBT yang dilakukan oleh kementerian dapat mengurangi kesalahan teknis yang dilakukan oleh siswa seperti salah memberikan arsiran pada LJK, LJK yang rusak dan kotor oleh pensil, dan hal-hal teknis lainnya yang tidak perlu dilakukan. UN-IBT tidak bersifat wajib dan hanya beberapa sekolah di kota-kota besar yang dijadikan percontohan untuk dilangsungkan ujian menggunakan komputer ini. Sekolah yang melangsungkan pun sudah memadai secara sarana dan prasarana untuk dilakukannya ujian sekolah.
[caption id="attachment_412138" align="aligncenter" width="480" caption="sumber : radarbangka.com"]
Inovasi UN-IBT oleh DIKDASMEN banyak mendapat respon positif dari beberapa kalangan namun tidak sedikit yang mencibir dengan pelaksanaan ujian secara online ini. Beberapa yang setuju berpendapat hal ini merupakan hal yang baru dan dapat mengurangi kecurangan yang biasa dilakukan oleh siswa pada tahun-tahun sebelumnya sehingga siswa hanya fokus terhadap materi apa yang akan dihadapi bukan sibuk menghitami dalam lingkaran yang membutuhkan waktu kurang lebih 1 menit dalam UN-LJK. Namun bagi beberapa yang kurang sependapat dengan hal ini menganggap sistem baru ini akan merepotkan dan beberapa sekolah belum siap mengenai ketersediaan komputer.
DIKDASMEN semakin dicecar saat temuan 30 paket soal UN yang bocor di google drive dan dapat diunduh oleh siswa. Kementrian terkait menjadi sasaran empuk bagi para pengkritisi terhadap sistem online ini. Sistem yang baru menghadirkan permasalahan yang baru pula.
Sistem Baru dalam Sudut Pandang Berbeda
Dalam sudut pandang yang lain, peralihan dari sistem paper based test ke internet based test merupakan sebuah langkah yang dilakukan sebagai bahan evaluasi terhadap sistem ujian yang pernah diberlakukan. Penulis masih ingat betul saat pergantian pertama kali ke arah sistem LJK, banyak pihak yang protes dan tidak setuju. Namun nyatanya, selama hampir 10 tahun sistem ini terus berlaku hingga ada peralihan seperti sekarang ini.
Berbedanya industri yang terlibat merupakan inti yang publik perbincangkan dan permasalahkan. Pada sistem UN-LJK, jenis industri yang digunakan adalah pihak percetakan, industri peralatan dan perlengkapan ujian seperti pensil, penghapus, dan papan ujian, pihak kemananan yang memakan biaya lumayan besar bagi siswa dalam persiapan dan penyelanggaran ujian. Berawal dari industri dalam bersifat pengadaan ke arah industri yang berbasis teknologi informasi penyelenggara ujian. Yang semulanya dari pengadaan kertas menjadi pengadaan komputer, ketersediaan jaringan internet yang baik, dan pengembangan aplikasi soal Ujian.
Terhadap kritikan dan saran mengenai UN-IBT, Anies Bawesdan menanggapi “kami memiliki 1000-an lebih tipe soal sedangkan yang bocor hanya 30 saja. Sebegitukah dalam apresiasi yang anda berikan kepada kami”. Tanggapan Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah tadi merupakan jawaban kepada publik dalam melihat dan menyikapi perubahan sistem ujian akhir. Walaupun UN-IBT masih awal dan butuh masukan dari berbagai pihak namun sistem ujian yang sebelumnya belum tentu lebih baik dibandingkan dengan sistem yang sekarang. Jadi Ujian Nasional 2015 -bisa lebih- baik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H