Memasuki tahun 2025, Indonesia berada di persimpangan kebijakan fiskal yang penuh tantangan. Prediksi pajak yang mencapai 12%, kenaikan pajak bangunan, penerapan Tabungan Perumahan Rakyat (TAPERA), penyesuaian subsidi untuk KRL, hingga potensi kenaikan gas elpiji dan BBM adalah sebagian dari langkah pemerintah untuk menyeimbangkan anggaran negara. Namun, bagi masyarakat, ini bukan sekadar kebijakan di atas kertas, melainkan tantangan nyata yang mengancam daya beli dan stabilitas ekonomi rumah tangga. Pengamat ekonomi terkemuka seperti Chatib Basri dan Faisal Basri telah mengemukakan pandangan mereka tentang kebijakan-kebijakan ini. Meski dinilai strategis dari sudut pandang fiskal, langkah-langkah tersebut penuh risiko yang mengarah pada penurunan kesejahteraan masyarakat, terutama kelas menengah dan menengah ke bawah. Pemerintah menargetkan kenaikan pajak hingga 12% untuk mengurangi defisit anggaran.
Kebijakan ini disertai dengan peningkatan pajak bangunan, terutama di perkotaan. Menurut Chatib Basri, langkah ini logis dari sudut pandang fiskal, namun memiliki risiko besar karena menyasar sektor properti yang tidak selalu likuid. Kenaikan pajak ini berpotensi mempersempit akses kepemilikan properti bagi masyarakat menengah ke bawah, sekaligus mendorong penumpukan aset di tangan segelintir pemodal besar.
"Jika kebijakan ini tidak dibarengi dengan peningkatan daya beli masyarakat, kita hanya akan melihat properti menjadi barang yang kian eksklusif," ujar Chatib. Faisal Basri juga menyoroti dampaknya pada pasar properti. "Kelas menengah yang menggunakan properti sebagai investasi utama mereka justru menjadi korban, karena pajak tinggi tanpa insentif berarti hanya menambah beban ekonomi," tambahnya. Penyesuaian subsidi KRL menjadi kebijakan yang menuai banyak kritik. Meski langkah ini diharapkan dapat mengurangi beban APBN, kenaikan harga tiket akan sangat terasa bagi masyarakat urban yang menggantungkan mobilitas harian pada transportasi publik ini. Ironisnya, kenaikan tarif justru dapat mendorong masyarakat kembali menggunakan kendaraan pribadi, yang pada akhirnya meningkatkan kemacetan dan polusi. Selain itu, kenaikan biaya pemeliharaan lingkungan atau IPL apartemen juga menjadi beban tambahan bagi warga perkotaan.
Inflasi yang meningkat serta kebijakan fiskal yang mendorong pengeluaran mandiri membuat masyarakat urban, terutama mereka yang tinggal di apartemen, menghadapi dilema antara mempertahankan gaya hidup atau mencari alternatif yang lebih murah. Dampak kebijakan fiskal ini tidak hanya dirasakan di perkotaan, tetapi juga hingga ke pedesaan. Gas elpiji dan BBM, dua kebutuhan pokok bagi rumah tangga dan UMKM, diprediksi mengalami kenaikan harga. Chatib Basri menyebut, kenaikan ini adalah konsekuensi dari pengurangan subsidi energi dan fluktuasi harga minyak global. Namun, bagi masyarakat, kebijakan ini berarti lonjakan harga kebutuhan pokok, yang memperparah tekanan ekonomi mereka. "Kenaikan harga BBM dan gas elpiji tidak hanya berdampak pada konsumsi rumah tangga, tetapi juga merambat ke sektor-sektor lain yang menggunakan bahan bakar ini sebagai elemen utama produksi," ujar Chatib. Dampaknya terasa langsung pada harga barang dan jasa, memicu inflasi tinggi yang melemahkan daya beli masyarakat. Selain itu, pemerintah berencana menambah objek cukai untuk produk baru seperti minuman berpemanis dalam kemasan (MBDK). Kebijakan ini bertujuan untuk meningkatkan penerimaan negara sekaligus mendorong pola konsumsi yang lebih sehat. Namun, bagi masyarakat kelas menengah ke bawah, penambahan cukai ini hanya menambah daftar panjang beban ekonomi mereka. Hal serupa terjadi dengan kenaikan iuran BPJS.
Meski bertujuan menjaga keberlanjutan layanan kesehatan, kebijakan ini menjadi pukulan bagi masyarakat yang selama ini menggantungkan akses layanan kesehatan pada BPJS. Banyak yang bertanya-tanya apakah kenaikan ini sebanding dengan perbaikan layanan yang akan mereka terima. Dalam perspektif filsafat ekonomi, kebijakan ini mencerminkan dilema antara efisiensi fiskal dan keadilan distributif. John Rawls menekankan pentingnya keadilan sosial yang memaksimalkan kesejahteraan kelompok rentan. Namun, langkah-langkah pemerintah justru lebih mencerminkan pendekatan ala Friedrich Hayek, yang mengutamakan efisiensi pasar.
Kelas menengah, yang sering dianggap sebagai tulang punggung ekonomi bangsa, kini seperti keledai yang dipaksa menanggung beban berat. Ketika pajak naik, biaya BBM dan gas elpiji melonjak, serta beban kesehatan dan pendidikan bertambah, mereka kehilangan kemampuan untuk berkontribusi optimal pada ekonomi nasional. Faisal Basri menyebut, "Kebijakan seperti ini ibarat memberi obat pahit kepada pasien yang sudah lemah tanpa memberinya jalan sembuh." Tahun 2025 akan menjadi ujian berat bagi masyarakat Indonesia. Di satu sisi, pemerintah berusaha menutupi defisit anggaran dengan menggali lebih banyak pajak dan memangkas subsidi. Namun, dampaknya pada masyarakat, terutama kelas menengah ke bawah, adalah beban yang terasa semakin berat. Seperti yang disampaikan oleh Chatib Basri, "Kesejahteraan masyarakat adalah tolok ukur keberhasilan ekonomi, dan kebijakan yang baik harus mampu menyeimbangkan kebutuhan fiskal negara dengan kesejahteraan rakyat."
Jika kebijakan ini hanya menciptakan jurang yang lebih dalam antara kelompok kaya dan miskin, maka tujuan pemerataan ekonomi akan semakin jauh dari kenyataan. Keadilan dalam kebijakan ekonomi bukan hanya soal angka, tetapi juga soal bagaimana kebijakan tersebut melindungi kelompok yang paling rentan. Jika tidak, yang tersisa hanyalah masyarakat yang berjuang sendiri di tengah tekanan ekonomi, bertanya-tanya kapan negara akan benar-benar hadir untuk mereka. ahun 2025 membawa angin perubahan yang penuh tantangan bagi ekonomi rumah tangga kita. Prediksi kenaikan pajak hingga 12%, harga gas elpiji dan BBM yang melonjak, kenaikan pajak bangunan, iuran BPJS, hingga cukai baru seperti pada minuman berpemanis dalam kemasan (MBDK) menjadi alarm bagi masyarakat. Beban hidup bertambah, tetapi pendapatan banyak orang tetap stagnan. Dalam situasi seperti ini, gaya hidup berlebihan justru dapat memperburuk keadaan. Dalam budaya yang sering memuja kemewahan dan kesenangan instan, melawan arus untuk hidup sederhana adalah langkah yang bijak. Gaya hidup berlebihan bukan hanya menguras keuangan, tetapi juga menambah beban mental.
Tekanan sosial untuk tampil "mewah" atau hidup "mapan" di media sosial sering kali membuat kita lupa pada hal yang benar-benar esensial. Padahal, lebih baik mengontrol pengeluaran hari ini daripada menyesali ketidakmampuan bertahan esok hari. Kita harus jujur pada diri sendiri bahwa hidup sederhana bukanlah tanda kelemahan, melainkan kebijaksanaan. Dalam kondisi ekonomi yang tidak sehat, gaya hidup konsumtif hanya akan mempercepat kehancuran finansial. Tekanan untuk mengikuti tren---dari membeli barang mewah hingga liburan tanpa henti---sering kali membuat kita terjebak dalam siklus utang yang sulit keluar. Tahun 2025 akan menjadi ujian bagi kemampuan kita untuk memilih prioritas keuangan dengan bijak. Untuk menavigasi badai ekonomi ini, diperlukan strategi finansial yang matang dan disiplin. Berikut adalah beberapa langkah yang dapat kita ambil: Mulailah mencatat setiap pengeluaran harian Anda. Dengan mengetahui ke mana uang Anda pergi, Anda bisa mengevaluasi pengeluaran yang tidak penting, seperti langganan aplikasi yang jarang dipakai, makan di luar yang terlalu sering, atau membeli barang hanya karena tergoda diskon. Memotong pengeluaran kecil ini dapat berdampak besar pada keuangan jangka panjang. Menabung bukan hanya nasihat kuno, tetapi kebutuhan mutlak. Terapkan metode seperti 50/30/20 budgeting: 50% untuk kebutuhan pokok, 30% untuk keinginan, dan 20% untuk tabungan atau investasi.
Tabungan adalah pelindung utama Anda dari kejutan finansial di masa depan. Selain menabung, mulailah berinvestasi untuk mengembangkan uang Anda. Pilih instrumen investasi yang sesuai dengan profil risiko Anda, seperti reksa dana, emas, atau saham perusahaan dengan fundamental baik. Jika Anda pemula, pelajari dasar-dasar investasi dan hindari spekulasi yang berisiko. Memiliki dana darurat setara tiga hingga enam bulan pengeluaran pokok sangat penting dalam kondisi ekonomi yang tidak stabil. Simpan dana ini di rekening terpisah agar tidak tergoda untuk menggunakannya untuk keperluan lain. Hidup minimalis berarti fokus pada hal-hal yang benar-benar membawa kebahagiaan dan manfaat. Kurangi membeli barang-barang yang hanya menjadi tumpukan di rumah tanpa fungsi yang jelas. Hidup minimalis tidak hanya membantu Anda menghemat uang, tetapi juga menciptakan ruang mental yang lebih lega. Situasi ekonomi yang sulit adalah saat yang tepat untuk meningkatkan nilai diri.
Pelajari keterampilan baru yang relevan dengan pekerjaan atau bisnis Anda. Banyak kursus online yang dapat membantu Anda mengembangkan potensi dan membuka peluang baru. Kebahagiaan sejati sering kali ditemukan dalam hal-hal kecil yang tidak memerlukan biaya mahal. Waktu bersama keluarga, memasak di rumah, atau berjalan-jalan di taman adalah contoh kebahagiaan yang tidak akan membebani dompet Anda. Kondisi ekonomi yang sulit adalah pengingat bahwa kita harus lebih cermat dalam mengelola keuangan. Kita tidak bisa mengontrol kebijakan negara atau dinamika ekonomi global, tetapi kita bisa mengontrol bagaimana cara kita menjalani hidup.