Mohon tunggu...
Taufik Alamsyah
Taufik Alamsyah Mohon Tunggu... Guru - Seorang tenaga pengajar

Mengajar adalah belajar

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Penantian Guru di Negara yang Tak Pernah Hadir

8 November 2024   08:28 Diperbarui: 8 November 2024   08:35 105
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Di tanah yang dulu menjunjung tinggi martabat guru sebagai pahlawan tanpa tanda jasa, kini kita menyaksikan fenomena memilukan: guru-guru yang terancam dipenjara, terjerat pinjaman, atau bahkan dilabeli sebagai pelaku kriminal. Guru, yang seharusnya menjadi garda terdepan dalam membentuk generasi penerus bangsa, kini terjebak dalam pusaran ketidakadilan yang semakin mendera. Proses pendidikan yang semestinya penuh dengan penghormatan terhadap nilai-nilai luhur dan kemanusiaan, justru berubah menjadi ajang saling tuding dan penghinaan terhadap profesi ini. Tidak jarang, guru diposisikan sebagai kambing hitam dalam setiap persoalan yang muncul di dunia pendidikan, seolah mereka yang sepenuhnya bertanggung jawab atas kerusakan yang terjadi.

Tidak hanya itu, kenyataan pahit lainnya menyebutkan bahwa profesi guru adalah salah satu yang paling rentan terjerat pinjaman online (pinjol). Di tengah kondisi ekonomi yang sulit dan rendahnya upah bagi banyak guru honorer, pinjaman online seolah menjadi pilihan terakhir untuk bertahan hidup. Ironisnya, alih-alih membantu, pinjol ini justru menjerat mereka dalam lingkaran utang yang tak berkesudahan, dengan bunga yang mencekik dan penagihan yang sering kali disertai intimidasi. Menurut data terbaru, guru menempati jumlah yang cukup besar dalam statistik nasabah pinjaman online, sebuah kenyataan yang menggambarkan bagaimana keputusasaan telah mendorong mereka pada pilihan-pilihan yang berisiko.

Di satu sisi, guru menghadapi tekanan ekonomi. Di sisi lain, beban administratif yang begitu besar turut menyiksa waktu dan energi mereka. Banyak guru yang terpaksa menyelesaikan laporan-laporan, mengisi berbagai dokumen, dan memenuhi tuntutan administrasi yang kian menumpuk, hingga terkadang waktu untuk mengajar menjadi keteteran. Fungsi guru sebagai pengajar dan pendidik mulai bergeser menjadi "petugas administrasi" yang dibebani tugas yang seharusnya bukan menjadi beban utama mereka. Ketika jam kerja habis di meja administratif, kapan lagi mereka bisa benar-benar mengajar, mendampingi siswa, dan membimbing dengan tulus?

Penulis Sumardiansyah, dalam tulisannya, menggambarkan dengan tegas bahwa kriminalisasi guru adalah bentuk nyata dari degradasi profesi pendidikan yang sangat memprihatinkan. Sumardiansyah menegaskan bahwa guru-guru yang terjebak dalam kasus hukum sering kali tidak mendapatkan pembelaan yang cukup. Mereka yang selama ini mengabdi pada pendidikan, malah menjadi sasaran empuk untuk dipersalahkan. Salah satu contoh nyata adalah bagaimana guru sering kali dijadikan tersangka dalam kasus kekerasan terhadap siswa, meskipun dalam banyak kasus, kekerasan tersebut lebih disebabkan oleh ketidakmampuan sistem pendidikan dalam menciptakan lingkungan yang aman dan mendukung bagi siswa.

Kisah-kisah seperti yang dialami oleh Supriyani, seorang guru di daerah terpencil yang dilaporkan oleh wali murid, adalah potret buram dari penghormatan yang semakin luntur terhadap profesi guru. Dalam tugasnya, Supriyani sebenarnya hanya berusaha menegakkan disiplin di kelas---sesuatu yang sudah menjadi bagian tak terpisahkan dari profesinya. Namun, karena kesalahpahaman yang terjadi, ia harus berurusan dengan hukum, menghadapi proses yang panjang dan menyakitkan. Di Wonosobo, kasus serupa terjadi: seorang guru yang didakwa atas tindakan kekerasan setelah menegur siswanya. Ironisnya, yang dilakukan guru tersebut adalah tindakan yang didorong oleh niat baik untuk mendisiplinkan, tetapi persepsi masyarakat yang salah justru memperkeruh situasi.

Guru-guru ini, yang niatnya hanya ingin menjalankan tugas mereka sebaik mungkin, terjebak dalam permasalahan hukum yang merugikan, seolah-olah mereka adalah kriminal. Iman Zanatul Zaeri, seorang pengamat pendidikan, turut menyoroti bagaimana banyak guru yang terjebak dalam kasus kriminalisasi bukan hanya karena perbuatannya yang salah, tetapi juga karena minimnya pelindungan hukum bagi mereka. Zanatul Zaeri mencatat bahwa seharusnya ada mekanisme yang lebih jelas dalam memberikan perlindungan bagi guru yang menghadapi tuduhan atau kasus hukum, mengingat mereka beroperasi di bawah tekanan berat dari berbagai pihak, mulai dari orang tua siswa, masyarakat, hingga pemerintah yang sering kali hanya memberi instruksi tanpa memberi solusi riil.

Ironi yang lebih menyakitkan lagi adalah kenyataan bahwa banyak guru di negeri ini hidup dalam kesulitan ekonomi yang memprihatinkan. Tak jarang kita mendengar cerita tentang guru honorer yang harus bekerja sampingan setelah mengajar demi memenuhi kebutuhan hidup. Di berbagai pelosok Indonesia, masih banyak guru yang digaji jauh di bawah upah minimum, bahkan ada yang hanya menerima upah Rp300 ribu hingga Rp500 ribu per bulan. Sebagian guru bahkan harus menjadi pemulung di sela-sela waktu mengajarnya, hanya untuk mendapatkan penghasilan tambahan. Ada pula yang menjadi tukang ojek, buruh serabutan, atau menjual makanan kecil di sekolah. Sebuah potret kelam dari profesi yang seharusnya menjadi tiang penopang pendidikan bangsa.

Sudah saatnya kita bertanya pada diri kita sendiri, ke mana perginya rasa hormat kita terhadap guru? Ketika anak-anak, yang dulu mengidolakan guru sebagai pahlawan, kini melihat mereka dengan pandangan sinis dan penuh kecurigaan, kita berada dalam krisis moral yang dalam. Pendidikan yang seharusnya menjadi sarana untuk menumbuhkan rasa saling menghargai dan membangun karakter bangsa, malah menjadi ajang saling menjatuhkan dan merendahkan. Masyarakat semakin lupa bahwa guru bukan hanya pengajar ilmu pengetahuan, tetapi juga penanam nilai-nilai kemanusiaan. Mereka adalah teladan yang seharusnya dihormati, bukan dihukum tanpa dasar yang jelas.

Namun, guru-guru ini tidak hanya menantikan perlindungan hukum. Mereka menunggu lebih dari itu: kelayakan upah yang layak sesuai dengan pengabdian mereka, jaminan kesehatan yang memberikan rasa aman bagi diri dan keluarga mereka, perlindungan bagi keluarga yang sering kali bergantung pada penghasilan mereka, dan akses ke pendidikan lanjutan yang dapat memperbaiki kualitas pengajaran mereka. Mereka menunggu jaminan pelatihan berkala, bukan hanya untuk mengikuti aturan, tetapi untuk benar-benar meningkatkan kompetensi sebagai pendidik. Mereka juga menunggu kepastian karier, sebuah kepastian bahwa pengabdian mereka akan dihargai dan dihormati seiring berjalannya waktu. Namun sayangnya, hal-hal yang mereka harapkan untuk membangun masa depan yang lebih baik, terasa seperti sebuah angan-angan belaka.

Negara yang seharusnya hadir untuk memenuhi hak-hak dasar ini, justru terus mengabaikan mereka, seperti membiarkan mereka berjuang sendirian dalam kesendirian. Negara yang mereka harapkan, yang mereka nantikan untuk memberi solusi, tidak pernah hadir. Dan kenyataannya, mungkin tidak akan pernah hadir.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun