Sejak Januari 2024 intensitas ketegangan di Semenanjung Korea semakin meningkat. Perbedaannya dari tahun-tahun sebelumnya adalah ungkapan pimpinan Korea Utara (Korut) Kim Jong Un bahwa tidak ada lagi kemungkinan penyatuan dengan Korea Selatan (Korsel) (16/01/2024). Pernyataan ini diungkapkan di hadapan Parlemen Korut serta diikuti pembubaran organisasi penyatuan kedua Korea, dan perubahan konstitusi menjadikan Korsel sebagai "musuh utama". Menanggapi ini, Presiden Korsel Yoon Suk Yeol menyatakan jika Korut melakukan provokasi, Korsel "akan membalas berkali-kali lipat lebih kuat" (Slow, 2024).
Kim mengubah sikapnya karena melihat Korsel semakin ofensif. Seperti dalam Defense White Papers (2022) Korsel telah merumuskan strategi "sistem tiga sumbu". Strategi ini terdiri dari (1) platform "Kill Chain", bertujuan untuk mendeteksi, menargetkan, dan menghancurkan ancaman rudal atau nuklir Korut sebelum diluncurkan. (2) Sistem Pertahanan Udara dan Rudal Korea (KAMD), dan (3) Korea Massive Punishment and Retaliation (KMPR), yang mencakup serangan rudal presisi atau infiltrasi pasukan operasi khusus untuk melenyapkan pemimpin Korut (Cho, 2024).
Perlu diingat strategi ofensif Korsel bertujuan mencegah agresi Korut, bukan untuk memulai serangan. Memang strategi pertahanan Korsel semakin ofensif selama satu dekade terakhir. Pada 2012 serangan pendahuluan atau pembalasan tidak dimasukkan sebagai strategi pertahanan. Baru pada 2013 diperkenalkan "Kill Chain" dan 2016 strategi KMPR. Peningkatan ini mencerminkan kebutuhan Korsel untuk menghadapi ancaman nuklir dengan sistem konvensional. Namun, apakah Korut memahami maksud defensif Korsel. Serta apakah Korsel mampu mengelola risiko yang meningkat akibat pendekatan keamanannya dalam satu dekade semakin ofensif.
Dinamika ini mencerminkan security dilemma bahwa tindakan satu pihak untuk meningkatkan keamanan dianggap ancaman bagi pihak lain. Dinamika ini berakibat perlombaan senjata atas dalih menjaga keamanan wilayah. Intensitas persaingan ini membuat Korut semakin terancam dan memutuskan tidak mungkin lagi melakukan unifikasi dan dibalas dengan tegas juga oleh Korsel. Dengan tidak adanya perjanjian damai yang ditandatangani sejak Perang 1950 membuat keduanya dalam status masih berperang, dan ini berkontribusi pada semakin dekat pada perang terbuka. Â Situasi ini digambarkan oleh dua profesor yang fokus pada Korut Carlin dan Hecker (2024) sebagai lebih berbahaya dari sebelumnya sejak dimulainya Perang Korea pada 1950. Pertanyaannya, sejauh mana dinamika terkini memicu perang terbuka? Faktor apa saja yang memengaruhi?
Analisis PerangÂ
Menurut Suganami (Miall dkk., 2011; Suganami, 2002) perang tidak disebabkan oleh faktor tunggal, selalu ada multi faktor yang bekerja bersama-sama. Suganami melihat setidaknya ada tiga faktor pemicu perang. Pertama, niat saling membunuh dan adanya senjata. Poin ini bisa dilihat dari retorika yang semakin tegas dari kedua pihak. Dalam aspek senjata, Korsel meningkatkan sistem pertahanan serta terdapat sistem pertahanan rudal Terminal High Altitude Area Defense (THAAD) yang didukung militer Amerika Serikat (AS) yang berada di Korsel.
Meskipun Korut sudah mempunyai rudal antarbenua (ICBM) yang begitu mengancam dunia dan jangka pendek yang spesifik mengancam Korsel. Dinamika terkini Korut meningkatkan jumlah senjata nuklir secara eksponensial (CNN, 2024). Perlu diingat kebijakan Korut ini muncul setelah Putin mengunjungi Korut pada Juni 2024 untuk pertama kali setelah tahun 2000. Padahal kedekatan ini bertolak belakang dengan sikap Rusia yang sebelumnya mendukung sanksi keras terhadap Korut terkait uji coba nuklir (Kompas, 2024). Kedekatan keduanya menunjukkan adanya aliansi untuk membentuk musuh bersama AS dan sekutunya. Sekaligus menunjukkan adanya perhitungan secara politis dari Korut bahwa jika di belakang Korsel ada AS, di belakang saya ada Rusia. Dinamika ini seperti mengulang sejarah awal pemisahan dan Perang Korea 1950-1953.
Â
Kedua, dukungan masyarakat dan legitimasi negara. Retorika yang kini semakin tegas, provokasi, dan peristiwa hampir perang terbuka di Semenanjung Korea seperti: Blue House (1968), penyitaan USS Pueblo (1968), tenggelamnya ROKS Cheonan (2010), pemboman pulau Yeonpyeong (2010), dan tweet "Fire and Fury" (2017), menunjukkan konflik laten yang sangat dalam.
Ketiga, ketiadaan perangkat pencegahan perang. Upaya internasional seperti perundingan denuklirisasi Korut telah mengalami kebuntuan sejak 2009, meski berbagai macam sangsi sudah dilakukan, Korut tetap tidak bergeming. Kegagalan ini ditambah contoh ekspansi Rusia ke Ukraina bisa menjadi contoh sekaligus inspirasi bagi Korut bahwa tindakan militer bisa menjadi opsi yang realistis. Terutama melihat bahwa komunitas internasional lambat sekaligus terpecah dalam merespons perang Rusia-Ukraina.
Dari analisis Suganami, dapat dikatakan tiga faktor pemicu sudah terpenuhi. Namun faktor pemicu ini hanya sebagai prasyarat masih ada satu faktor yang menentukan, yakni pemantik (Vasquez, 1987). Faktor pemantik lebih spesifik dan merupakan sentuhan akhir yang berada pada pimpinan negara. Karena pada dasarnya perang adalah keputusan politik negara. Dalam kaitan keputusan akhir untuk berperang selalu didahului dua hal. Pertama, optimisme berlebih, bahwa perang ini akan mudah dimenangkan dan berjalan cepat. Kedua, kesalahan perhitungan dalam memahami kekuatan lawan. Sehingga pemantik dari perang adalah kesalahan persepsi dalam melihat fenomena, biasanya berupa tersulutnya emosi akibat provokasi, dan ini diikuti dengan kesalahan perhitungan atas lawan. Contoh nyatanya adalah ekspansi Rusia ke Ukraina.