Mohon tunggu...
taufik azzak
taufik azzak Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Pascasarjana UGM-Prodi: Ketahanan Nasional-Minat Studi: Perdamaian dan Resolusi Konflik

Minat pada isu radikalisme, ekstremisme, terorisme, serta pertahanan.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Posisi, Diplomasi, dan Strategi Indonesia Merespons Konflik Laut China Selatan

31 Mei 2024   10:46 Diperbarui: 31 Mei 2024   10:46 407
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Apakah ketegangan-ketegangan di Laut China Selatan (LCS) merupakan konflik, atau sengketa? Pertanyaan ini penting diajukan untuk memetakan posisi aktor, dan bagi Indonesia sebagai pendiri ASEAN penting untuk merancang intervensi, mendekati, dan mencegah eskalasi.

Dinamika pertama menunjukkan keadaan LCS sebagai konflik. Dinamika ini didasarkan atas fakta bahwa China telah membangun pulau-pulau buatan, hingga pengerahan fasilitas militer di wilayah yang dipersengketakan, seperti di kepulauan Spratly. Tindakan ini telah meningkatkan ketegangan militer dengan negara-negara tetangga seperti Vietnam, Filipina, Malaysia, Brunei, dan Taiwan. Intensitas tinggi ini akhirnya mengundang pihak luar seperti Amerika Serikat (AS) untuk terlibat, entah hanya sekadar komentar, hingga unjuk kekuatan dengan latihan militer di kawasan.

Dinamika kedua menunjukkan LCS sebagai sengketa. Jika konflik mencerminkan kompleksitas, banyak lapisan kepentingan, dan intensitas yang tinggi. Sedikit berbeda dengannya, sengketa lebih fokus pada satu masalah. Pandangan LCS sebagai sengketa berlandaskan atas pemahaman atas situasi dan akar masalah bahwa inti masalah adalah tumpang tindih, perbedaan pendapat pada luasan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) (Yang & Zou, 2024).

Sengketa ini bisa dirunut sejak zaman dinasti, atau sebelum negara-negara di kawasan terbentuk. Aktor lokal seperti Kerajaan Funan, Kerajaan Angkor, Kerajaan Sriwijaya, Kerajaan Ayutthaya, Kerajaan Champa, dan Kesultanan Melaka, tercatat bergantian menguasai wilayah LCS. Baru pada abad ke-12 hingga ke-15, armada China yang dipimpin oleh Laksamana Cheng Ho mendominasi LCS. Singkatnya Pasca-Perang Dunia Kedua terjadi kekosongan kekuasaan sehingga tidak ada satupun dokumen internasional yang memberikan kejelasan kedaulatan di LCS. Karena kosongnya kekuasaan, dan berdasarkan catatan sejarah yang menjadi dasar China mengklaim bahwa LCS adalah wilayahnya. Klaim ini akhirnya memicu ketegangan dengan Vietnam, Taiwan, Malaysia, Filipina, dan Brunei Darussalam yang juga merupakan negara yang mengklaim wilayah tersebut (Tonnesson, 2001).

Dinamika LCS adalah gabungan antara konflik dan sengketa yang saling terkait. Namun yang perlu penekanan adalah tidak semua negara di ASEAN masuk dalam dinamika konflik. Indonesia masuk dalam negara non-klaim, atau tidak masuk dalam lingkaran konflik. Indonesia dan China hanya ada perbedaan tafsir luasan ZEE.  

Mengenai perbedaan tafsir ini, ada empat poin sikap Indonesia pada klaim China di LCS. (1) telah terjadi pelanggaran oleh kapal China di wilayah ZEE Indonesia; (2) Wilayah ZEE Indonesia telah ditetapkan berdasarkan hukum internasional yaitu melalui United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) 1982; (3) China merupakan salah satu anggota UNCLOS 1982; oleh karena itu, merupakan kewajiban bagi China untuk menghormati penerapan UNCLOS 1982; dan (4) Indonesia tidak akan pernah mengakui nine-dash line (kini menjadi ten-dash line) yang merupakan klaim sepihak dibuat oleh China yang tidak memiliki dasar hukum yang diakui oleh hukum internasional, khususnya UNCLOS 1982 (Dipua dkk, 2020).

Selain statemen di atas, Indonesia sudah dua kali melakukan protes ke PBB pada tahun 2010 dan 2020. Namun sikap China tetap ambigu bernada menolak, sama dengan penolakannya pada putusan Arbitrase pada 2016. Sedangkan mengenai nelayan yang sering masuk ZEE Indonesia, mereka berdalih karena faktor cuaca. Musim dingin membuat nelayan tidak bisa menangkap ikan, sehingga bergeser ke selatan hingga memasuki wilayah ZEE Indonesia. Menurut Duta Besar China untuk Indonesia Xiao Qian menyampaikan ini adalah keputusan nelayan secara pribadi.

Sengketa ZEE telah dibahas Indonesia dan China pada 16/1/2020, melalui perwakilan Xiao Qian dan Mahfud MD selaku Menkopolhukam. Keduanya sepakat bahwa tidak ada masalah kedaulatan antara kedua negara. Mengenai nelayan yang masuk ZEE Xiao Qian mempersilakan mengusirnya dan memproses secara hukum. Di sini yang perlu dipertegas adalah hubungan kedaulatan dan ZEE. Pertanyaan yang muncul adalah apakah perselisihan ZEE merupakan ancaman kedaulatan?

Dalam An Analysis of the South China Sea Conflict: Indonesia's Perspectives, Contexts and Recommendations (2020), Dipua dkk berpendapat. Perlu dibedakan antara kedaulatan, hak berdaulat, dan implikasi keduanya pada kebebasan di laut lepas. Banyak yang menganggap ZEE adalah wilayah kita, kedaulatan kita yang harus kita kuasai. Namun, hukum konvensi laut berbicara lain. Pendapat ini diperkuat Yoshifumi Tanaka dalam The International Law of the Sea (2012). Secara luasan di negara dengan pantai, kedaulatan merupakan perairan teritorial hingga 12 mil dari garis pantai. Sedangkan ZEE membentang hingga 200 mil. Dalam kedaulatan negara memiliki kedaulatan penuh. Namun dalam ZEE negara hanya memiliki hak berdaulat. Meskipun memiliki hak berdaulat, negara lain tetap memiliki kebebasan navigasi, penerbangan di atas ZEE, serta pemasangan kabel dan pipa bawah laut. Hal ini dengan catatan asalkan aktivitas tersebut tidak mengganggu hak berdaulat negara yang memiliki ZEE.

Sehingga dalam kasus tumpang tindih ZEE Indonesia-China keduanya tidak memiliki masalah tentang kedaulatan. Meskipun tidak berkonflik, dan kedua negara sepakat menjaga hubungan bilateral, pertanyaannya adalah apakah kemudian Indonesia bisa dikatakan aman?

Keamanan Manusia 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun