Di depan rumah, kami duduk berdua,
menatap senja yang perlahan reda.
Angin senyap menyisir rambut yang tersisa,
sementara sendawa kecil pecah dalam tawa.
Ah, betapa panjang jalan yang telah kita daki,
berliku, berdebu, terkadang berduri.
Pernah lapar, pernah terjatuh,
pernah hampir menyerah pada dunia yang angkuh.
Namun lihatlah, kita masih di sini,
bersama, meski tulang telah rapuh,
tertawa di antara pahit dan manis,
mengunyah sisa-sisa kenangan yang tak habis.
Ada kesalahan yang masih mengintip di sudut ingatan,
janji yang tertinggal, luka yang terabaikan.
Tapi lihatlah, cinta kita tak lapuk oleh usia,
seperti senja yang tetap jingga, meski hari hampir tiada.
Dan kebaikan? Ah, tak perlu dihitung,
hanya serpihan kecil yang menghangatkan hati.
Seteguk air untuk musafir kehausan,
sepotong roti untuk anak yang kebingungan.
Pernah aku pergi saat kau butuh sandaran,
terlalu sibuk mengejar mimpi yang tak bertahan.
Kini kusadari, waktu tak bisa diulang,
dan maafmu adalah hadiah yang paling tenang.
Kau tetap di sini, meski badai menghempas,
menjahit lukaku dengan sabar yang tak lekas.
Tak butuh janji, tak perlu kata,
cukup genggamanmu, aku tahu---kita selamanya.
Kini, kita bersendawa dalam damai,
bukan karena kenyang, bukan karena puas,
tapi karena hidup telah kita telan bulat-bulat,
tanpa sisa, tanpa penyesalan yang berkarat.
Senja meredup, malam perlahan mendekap,
aku menggenggam tanganmu yang renta.
Jika esok kita tak lagi terjaga,
biarkan dunia mengenang kita dalam cinta.
Kutaradja Aceh, Jan25