Mohon tunggu...
Taufik
Taufik Mohon Tunggu... Editor - Freelance Berdaulat

*Pejalan yang membutuhkan Energi Langit* =================================== Hai! Saya seorang penulis dan ghostwriter dari ACEH yang suka bercerita dan mengeksplorasi ide-ide baru, topik-topik unik dan pengalaman pribadi. Saya senang menciptakan karya-karya yang membuat orang berpikir tentang sejarah, kebudayaan, dan Adat istiadat dan gemar menjelajahi kehidupan dan keberagaman dunia. Dukungan Anda sangat berarti bagi saya, dan itu membantu saya terus berbagi cerita dengan Anda semua. Penyuka bacaan: #Antropologi, #Sosiologi, #Poetri, #Sejarah, #Ekonomi, #sosialbudaya #kebijakan #kearifanlokal

Selanjutnya

Tutup

Financial Pilihan

Bahaya Gaya Hidup Hedonis dan Dampaknya pada Keuangan 2025

3 Januari 2025   13:51 Diperbarui: 3 Januari 2025   14:01 58
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pernahkah Anda merasakan dorongan untuk membeli barang hanya karena terlihat keren di media sosial? Atau mungkin Anda merasa perlu memamerkan gaya hidup untuk "eksis"? Jika iya, Anda tidak sendiri. 

Gaya hidup hedonis, terutama di kalangan pemuda, telah menjadi fenomena besar di era digital ini. Namun, di balik kesenangan tersebut, ada tantangan besar mengintai: bagaimana menjaga keseimbangan antara kesenangan sesaat dan kondisi finansial yang sehat?

Pernahkah Anda merasa seperti terjebak dalam perlombaan yang tak berujung? Perlombaan di mana standar kebahagiaan diukur dari seberapa mahal barang Anda miliki atau seberapa mewah tempat Anda nongkrong? Kita pernah berada di posisi itu. Setiap akhir pekan terasa seperti tantangan: apakah saya cukup keren, cukup up-to-date, cukup sukses?

Awalnya, kita tidak menyadari betapa gaya hidup ini membentuk pola pikir dan kebiasaan saya. Nongkrong di kafe yang sedang viral, membeli outfit terbaru yang dipamerkan influencer, atau liburan hanya untuk mendapatkan foto sempurna. Semua ini memberikan rasa bangga dan, tentu saja, kebahagiaan sesaat. Tapi, ada satu hal yang mengganjal: saldo rekening yang terus berkurang.

Renungan dan Refleksi Diri

Salah satu momen membuka mata kita terjadi saat kita meninjau pengeluaran bulanan. Ternyata, hampir 70% dari pengeluaran kita adalah untuk kebutuhan gaya hidup kopi mahal, langganan streaming premium, makan di luar, dan impuls membeli barang yang sebenarnya tidak terlalu kita butuhkan. Saat itu, saya sadar bahwa saya lebih sering memprioritaskan "suka-suka" ketimbang kebutuhan jangka panjang.

Ironisnya, kita merasa bahwa ini adalah kebutuhan sosial. kita takut ketinggalan tren, takut tidak diterima dalam lingkaran pergaulan, dan takut terlihat "tidak sukses." Padahal, di balik semua itu, saya sedang memaksakan diri untuk memenuhi standar yang tidak benar-benar penting bagi saya.

Tentu, pengalaman saya ini mungkin terdengar familiar. Anda mungkin juga pernah merasa seperti ini. Tekanan sosial untuk tampil sesuai "standar" media sosial adalah hal nyata. Saat teman-teman Anda memamerkan pencapaian, barang baru, atau pengalaman eksklusif, Anda merasa harus melakukan hal sama.

Tetapi, apakah semua itu benar-benar membuat Anda bahagia? Apakah kebahagiaan Anda harus bergantung pada validasi orang lain?

Mengurai Perangkap Hedonis di kalangan pemuda

Keluar dari perangkap hedonisme tidak mudah. Dibutuhkan kesadaran bahwa kebahagiaan sejati tidak datang dari barang mahal atau pengalaman mewah semata. Ini lebih tentang bagaimana kita merasa nyaman dengan diri sendiri, menghargai apa yang kita miliki, dan membangun masa depan stabil.

Langkah pertama adalah belajar membedakan antara "kebutuhan" dan "keinginan." Kita mulai dengan menetapkan anggaran sederhana: sebagian untuk tabungan, sebagian untuk investasi, dan sebagian lagi untuk hiburan yang memang benar-benar kita nikmati.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun