Pemerintah baru-baru ini mengeluarkan kebijakan penghapusan piutang macet bagi UMKM yang terjerat masalah finansial. Bagi sebagian orang, langkah ini merupakan angin segar yang dapat membantu UMKM untuk bangkit, terutama di masa pemulihan ekonomi pasca-pandemi. Namun, apakah kebijakan ini benar-benar berdampak positif dan berkelanjutan bagi UMKM? Atau adakah pendekatan yang lebih efektif lainnya?
Kebijakan penghapusan piutang macet untuk UMKM cenderung lebih mudah diakses oleh UMKM menengah yang memenuhi persyaratan administrasi dan keuangan tertentu, seperti memiliki catatan transaksi yang jelas, aset yang cukup, atau rekam jejak kredit yang relatif baik.
Hal ini karena bank dan lembaga keuangan biasanya memiliki kriteria yang ketat untuk memberikan bantuan kredit atau restrukturisasi utang. Dengan demikian, UMKM yang masuk kategori yang tidak memenuhi syarat akses keuangan atau unbanked atau unbankable sering kali tidak termasuk dalam cakupan kebijakan ini, karena mereka tidak memenuhi syarat-syarat perbankan formal.
Fakta UMKM di Indonesia
Di Indonesia, sekitar 65 juta unit UMKM tersebar di berbagai sektor pada 2024, namun tidak semuanya memenuhi kriteria formal untuk mendapatkan manfaat dari program penghapusan piutang macet. Saat ini, sebagian besar UMKM tergolong usaha mikro yang memiliki keterbatasan dalam akses pembiayaan formal atau kurang memenuhi persyaratan untuk menjadi "bankable" dan "eligible" di lembaga keuangan formal. UMKM yang "unbanked" dan "unbankable", mereka yang belum terdaftar atau tidak memiliki dokumentasi keuangan yang rapi, umumnya tidak dapat mengakses pembiayaan formal atau menikmati kebijakan penghapusan piutang tersebut. Kelompok ini mencakup usaha mikro yang bergerak dalam bidang kuliner lokal, pedagang kaki lima, dan usaha rumahan yang belum berbadan hukum atau belum mengikuti pelatihan pengelolaan keuangan formal.
Berdasarkan data terbaru dari berbagai sumber, termasuk Kementerian Koperasi dan UKM serta OJK, terdapat lebih dari 67 juta pelaku UMKM di Indonesia, yang berperan penting dalam ekonomi negara dengan kontribusi sekitar 61% terhadap PDB dan penyerapan tenaga kerja hingga 97%. (www.ojk.go.id)
Namun, hanya sebagian kecil dari jumlah tersebut yang memenuhi syarat untuk mendapatkan dukungan pembiayaan yang lebih formal, seperti kredit perbankan atau akses ke program penghapusan piutang macet. Data menunjukkan bahwa lebih dari 60% UMKM di Indonesia masih tergolong sebagai unbanked, artinya mereka tidak memiliki akses ke layanan keuangan formal. (sumber. Bisnis.com).
Berdasarkan data diatas dan fakta dilapangan UMKM yang tidak mendapatkan akses ke perbankan akhirnya mendapatkan kepercayaan dari rentenir dan tengkulak.
Fakta dilapangan
Pilihan bagi petani dan nelayan atau UMKM yang tidak bisa akses keuangan bank adalah rentenir. Kalau dipikir-pikir, kenapa mereka memilih rentenir? Jawabannya sederhana, cepat dan tanpa syarat ribet. Bank? Ah, buat mereka, itu hanya mimpi. KTP, sertifikat tanah, sampai surat-surat lain yang jadi syarat pinjaman bank sering kali sulit mereka penuhi. Sementara rentenir? Datang bawa uang tunai, dan langsung cair.
Tapi di balik kemudahan itu, ada jebakan. Bunga yang tak manusiawi, sistem cicilan yang berat, hingga tekanan psikologis kalau telat membayar. Banyak petani yang terpaksa mengorbankan kebun, tanah, bahkan hewan ternaknya. Nelayan? Mereka harus berbagi hasil tangkapan yang kadang cuma cukup untuk makan sehari-hari.
Ketergantungan pada rentenir ini seperti lingkaran setan. Begitu masuk, sulit keluar. Modal kerja mereka habis hanya untuk membayar bunga, sementara kebutuhan hidup terus menghimpit. Yang paling menyedihkan, anak-anak mereka harus ikut menanggung beban ini. Banyak yang putus sekolah karena tak ada biaya.
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!