Mohon tunggu...
Taufik Ikhsan
Taufik Ikhsan Mohon Tunggu... Guru - Ras Manusia

Art-enthusiast.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Lari dari Indonesia

25 Januari 2014   22:44 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:28 27
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1390665204760886459

[caption id="attachment_318221" align="aligncenter" width="436" caption="doc. artikel-sumber.blogspot.com"][/caption] Kita sedang hidup disuatu masa Ketika bumi tak sudi bersahabat lagi Cahya rembulan terhalang sangkakala Angkara murka mengalahkan matahari Lama kita tak menyaksikan pelangi Warna warna indah di langit biru Entah dimana ada cerah wahai kelabu Menanti tujuh bidadari indah menari Burung-burung hinggap di batu cadas Menanti datang cahaya matahari Di timur mulai serambut merah Sebentar lagi fajar kan mendekati Mata pedang pemimpinku berubah arah Tajam menikam mengkhianati amanah... .......... (dikutip dari soundtrack film 'Lari dari Blora') Begitulah bunyi lirik lagu dalam film 'Lari dari Blora'. Film yang dirilis tahun 2007 tersebut, dibintangi maestro teater Indonesia, W.S. Rendra. Sebuah film yang bertajuk 'Harmony Without The Law', yang pada intinya menceritakan kehidupan damai suatu kelompok masyarakat yang justru tercipta karena ketidakhadiran hukum yang disusun secara birokratis dan administratif. Sedari dulu, sejak pertama kali menonton film ini, saya sangat tertarik dengan lirik lagunya. Mungkin karena perpaduan antara lagu, irama, dan teatrikal sederhana dari sang (Alm) W.S.Rendra. Perpaduan tersebut membuat saya merenung tentang kondisi yang ingin disampaikan lagu tersebut, seolah memiliki visualisasi tentang keadaan Indonesia dimasa yang akan datang. Selain itu, film 'Lari dari Blora' ini memiliki esensi yang sangat penting sekaligus menyentil kuping para pejabat birokrasi pemerintahan. Dimana keteraturan, tatanan masyarakat, harmonisasi dengan alam, kerukunan, justru tercipta dari rasa saling menghormati dan menghargai yang tidak pernah disentuh dan diatur oleh kitab-kitab hukum buatan manusia. Kehidupan mengalir begitu saja, dijalani dengan rasa jujur, tanpa benci, dan saling menghormati. Pada intinya, yang saya simpulkan sendiri tentang film ini adalah kehidupan yang tenang dan harmonis dapat tercipta TANPA campur tangan pemerintahnya. 'Pemerintahan' bagi mereka adalah proses bermasyarakat dengan mengedepankan rasa jujur, saling terbuka, dan saling menghormati. Keseimbangan seperti itu akan menyatu bersama alam, sehingga alam nantinya akan membantu manusia untuk menyelesaikan masalah kehidupannya. Dan datangnya kerusakan dan bencana alam adalah ulah manusia juga. Saya teringat kembali akan film ini karena kita sebagai WNI yang tinggal di Indonesia saat ini merasakan kesedihan yang mendalam manakala bumi ibu pertiwi tidak henti-hentinya diterjang dan diuji dengan berbagai ketidakseimbangan (baca: bencana) alam. Mulai dari gunung meletus, banjir bandang, kemudian hari ini kita pun diterpa gempa. Pertanda apa ini kiranya? Saya bertanya. Mungkin anda pun pembaca bertanya, apa pertanda dibalik ini semua. Dalam film tersebut juga terkandung makna bahwa rusaknya alam lebih disebabkan oleh ketidakharmonisan manusia dalam berinteraksi dengannya, seperti meraup kekayaan alam tanpa memikirkan akibat yang ditimbulkannya. Dalam sebuah kitab suci, saya pernah membaca, bahwa 'kehancuran suatu negeri akan terjadi, manakala manusia yang memiliki kekayaan (berkuasa) malah tidak peduli atau tidak memihak kepada kaum jelata'. Kita pun bercermin, benarkah seperti itu? benarkah para penguasa di Indonesia sudah tidak berpihak lagi kepada rakyatnya? benarkah orang-orang yang punya banyak harta di Indonesia tidak lagi berbagi dengan rakyat jelata? Kalau benar, rasanya kita pun harus segera berbenah. Kita harus berbenah, para petinggi dan penguasa pun sudah seharusnya berbenah. Terutama mereka yang mengendalikan kuasa di negeri ini, harus segera mengembalikan jati diri mereka untuk berbakti demi Indonesia, demi rakyat yang membutuhkan. Kalau masih saja membandel, mungkin saja mereka sudah bersiap untuk lari dari Indonesia. Salam dan doa. Ambon, 25 Januari 2015. 00:34

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun