[caption id="attachment_357546" align="alignnone" width="640" caption="Ilustrasi: http://regional.kompas.com"][/caption]
Haruskah cinta mengorbankan agama (keyakinan)? Jika cinta ditaruh diatas agama, lalu apa yang melandasi cinta tersebut untuk terus berkembang? Ataukah agama tidak pantas lagi menjadi landasan tumbuhnya cinta antara kedua pasangan? hhmmm...
Setulusnya, saya juga tidak ingin (bahkan tidak berhak) menyimpulkan apakah akan ada cinta diantara dua insan berbeda agama yang memutuskan untuk hidup bersama. Karena cinta memang bukan hanya dari kata-kata. Bagi saya cinta adalah 'ilmu tentang HARI INI', bukan kemarin atau esok hari. Jadi jika ingin melihat apakah seseorang mencintai kita, ya lihat saja hari ini, jangan menilai dari hari kemarin atau keesokannya,,hehe.
Hanya ingin berbagi pengalaman, tapi bukan pengalaman 'menikah berbeda agama lho ya', pengalaman menjadi tetangga sebuah keluarga yang membangun rumah tangga dengan agama yang berbeda (suaminya beragama Islam, sang istri beragama Kristen). Saya tidak bisa menyimpulkan keluarga ini sukses atau tidak, ini tergantung persepsi anda saja.
Sebut saja mereka Pakde dan Bukde, karena kebetulan keduanya adalah teman Orangtua saya sejak lama. Saya sudah bertetangga dan mengenal mereka sejak kecil. Usia pernikahannya sudah genap 30 tahun, dan dikaruniai dua orang anak, yang tertua usianya 28 thn, yang kedua 25 tahun. Kebetulan anaknya yang kedua adalah teman akrab saya sejak duduk di sekolah dasar hingga kuliah.
Rumah mereka dan rumah orang tua saya hanya dibatasi tembok setinggi pinggang, sehingga kalau sore hari ketika ayah dan pakde menyiram tanaman, seringnya malah ngobrol, karena memang penghobi tanaman. Tepat di depan rumah kami, terdapat masjid yang lumayan ramai. Lihat saja ketika waktu sholat wajib tiba, selalu saja ada yang adzan dan sholat berjamaah.
Pakde ini adalah orang yang (menurut saya rajin sholat berjamaah di masjid), tiap subuh, maghrib, dan isya pasti selalu ada dalam shaff pertama sholat, karena memang beliau juga termasuk dalam pengurus harian DKM. Kegiatan di masjid pun beliau tidak pernah tinggal, dari maulid nabi hingga perayaan Iedul Qurban.
Setiap kegiatan di masjid, Pakde ini menyumbangkan banyak hal, terutama sokongan dana yang kadang tidak kecil. Lebih hebatnya lagi, Bukde pun tidak ketinggalan membantu setiap kegiatan yang diadakan di masjid. Saya ingat ketika ada rapat DKM ataupun kegiatan Maulid Nabi, pasti Bukde membantu ibu saya dan ibu-ibu panitia lainnya dalam menyiapkan konsumsi.
Bantuan yang diberikan bukan yang sekedarnya. Beliau membantu layaknya beliau juga merasakan kebahagiaan dalam menyambut hari-hari besar Agama Islam tersebut. Dulu sih saya tidak begitu terpukau tentang itu, karena memang masih kecil dan belum mengerti. Tapi setelah besar, hal-hal yang Bukde lakukan untuk masjid tiap tahunnya itu membuat saya terkagum.
Bukde juga saya pikir seorang pemeluk agama yang rajin dalam beribadah, beliau merupakan seorang guru di SMP/SMAÂ Kristen. Setiap hari minggu, ketika ibadah, Pakde selalu mengantar dan menjemput Bukde ke gereja, yang lumayan jauh dari tempat tinggal kami. Ini juga dilakukannya selama masa-masa pernikahan mereka.
Bagi saya keluarga mereka mampu membangun sebuah prototipe keluarga yang lebih menjunjung tinggi kebersamaan, mungkin karena keberadaan anak. Bagi saya mereka memiliki rasa toleransi yang tidak bisa diukur tinggi dan besarnya, bayangkan saja selama 30 tahun mereka terus menerus menghormati satu sama lain, meski bertentangan dengan keyakinan masing-masing.