Sjech M. Djamil Djambek dikenal sebagai ulama yang pertama kali memperkenalkan cara bertablig di depan umum, Barzanji (Rawi), atau Marhaban (Puji-pujian) yang biasanya di bacakan di surau saat peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW. Menceritakan riwayat Hidup Nabi Muhammad SAW dalam bahasa Melayu (Indonesia), sehingga lebih mudah dipahami dan dapat diambil pengajaran oleh seluruh lapisan masyarakat.
 Menjadikan inspirasi kepada hal yang lain, Syekh M. Thaib Umar. Beliau melakukan perubahan pada khutbah, baik Khutbah Jum'at maupun Khutbah Hari Raya, dahulu dengan bahasa Arab, diganti dengan menggunakan Bahasa Melayu (Indonesia). Kurang lebih tahun 1918. Khutbah pertama dalam bahasa Melayu (Indonesia) yang pertama dilakukan di Masjid Lantai Batu, Batu Sangkar, kemudian di Sungayang pada tahun 1918, dan pada akhirnya seluruh Minangkabau menggunakan bahasa melayu dalam khutbah kecuali rukunnya.
Setiap pembaharuan tentu tidak dengan mudah diterima oleh masyarakat, daerah Agam, sebagian Pariaman. Masih tetap menggunakan bahasa Arab dalam setiap khutbah, baik Jum'at maupun Hari raya. Kepiawaian dalam ilmu falakiyah, menjadikan Beliau tokoh ilmu Falak. Dari berbagai daerah, Riau, Aceh, Sumatera Utara, dan bahkan dari Malaysia.[4] Datang untuk belajar ilmu Falakiyah.
 Hasan fakih muda Padang Panjang, Janaid Simalanggang Payakumbuh adalah murid beliau. Majalah AL-Munir terbit di Padang tahun 1911-1916, menerbitkan Almanak, Imsyakiyah Ramadhan yang di buat oleh Sjech M. Djamil Djambek[5].
 Sjech M. Djamil Djambek, memperbaiki bacaan Qur'an pada Khatib Kumango (Batu Sangkar) seorang guru Qori yang masyhur di Mekah. Belajar ilmu agama pada H. Abdullah Ahmad, Syekh Bafadhil, Syekh Sarawak, dan yang terakhir pada Syekh Ahmad Khatib Al- Minangkabau, pada saat beliau berumur 22 tahun. Tahun 1313 Hijriyah 1895 Masehi beliau pergi ke Mekah, Sembilan Tahun beliau bermukim dan belajar diMekah.
 Selama belajar di tanah Suci banyak ilmu Agama yang didapatkan, dari gurunya Syekh Khatib Al-Minangkabaui. Terutama ilmu Tarekat bahkan beliau memperoleh izajah Tarekat Anaqsyabandiyah Khalidiyah.Â
Dari sekalian ilmu yang pernah didalaminya yang menjadikan beliau masyhur baik di Mekah maupun di Indonesia (Sumatera) adalah Ilmu  Falakiyah. 10 tahun hidup sebagai parewa (Freeman), menyabung ayam, minum-minuman keras, Judi. Beberapa tahun lalu kita mengenal Almarhum Ustad Zefri Al-Buchori sebagai mantan Freeman, dan menjadi Ustad kondang. Demikian halnya dengan Sjech M.Djamil Djambek, mulai tertarik dengan pengajian Angku Kayo di Mandiangin Bukittinggi.Â
Seorang ulama yang peduli terhadap akhlak  dan prilaku kehidupan pemuda. Usia 7 tahun bersekolah di Pripat (Gubernemen) di Bukittinggi,[6] sekolah yang di dirikan untuk mempersiapkan pelajar nya memasuki sekolah guru (Kweekschool). Beliau salah seorang putra terbaik Tigo Baleh Bukittiggi. Dari paangan Saleh Dt. Maleka asal Kurai, seorang Walinagari Kurai. Dengan ibunya yang berasal dari Sunda juga dari keluarga Kraton.
 Nama aslinya adalah Muhammad Djamil, Djambek adalah nama tambahan, dikarenakan mukanya bercambang. Lebih dikenal dengan nama Sjech M.Djamil Djambek, atau Inyiak Djambek. Panggilan itu melekat kepada beliau dan dipakaikan pada surau yang ditinggalkan oleh beliau, yaitu Surau Inyiak Djambek Tangah Sawah Bukittinggi.[7]
 Sekolah Tinggi Agama Islam (STAIN) Sjech M.Djamil Djambek juga memakai nama beliau. Melalui peraturan Presiden RI No.181 tahun 2014 yang di tanda tangani oleh Presiden Joko Widodo. Berubah nama menjadi IAIN Bukittinggi. Dr. Ridha Ahida mengatakan bahwa proses alih status ini bagaikan jalan mendaki yang butuh kesabaran.
 Sjech M. Djamil Djambek dilahirkan dari keluarga Bangsawan Kraton dan juga merupakan keturunan Penghulu (Walinagari). Beliau lahir pada tahun 1860, kemudian wafat pada tanggal 30 Desember 1947 Masehi, 18 Syafar 1366 Hijriyah, dalam usia 87 tahun di Bukittinggi.