Berdasarkan data dari situs resmi Pemerintah Kota Tangerang, penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) sektor Perdesaan dan Perkotaan (P2) tahun 2023 di Kota Tangerang mencapai Rp541.695.007.750,00. Target PBB tersebut sebesar Rp520.000.000.000,00 atau bisa diartikan bahwa realisasinya mencapai 104,17%. Di sisi lain, berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik Kabupaten Tegal, penerimaan PBB P2 di Kabupaten Tegal Rp2.943.553.568,00. Padahal, target PBB tersebut adalah Rp10.450.500.000,00 atau bisa diartikan realisasinya hanya sekitar 28,17% saja. Kedua fakta ini menunjukkan bahwa penerimaan PBB P2 di Indonesia belum maksimal dan masih ada ketimpangan antar daerah.
      Terdapat beberapa asas PBB yang disebutkan dalam konsideran Undang-undang Nomor 12 Tahun 1985 (UU PBB), memberikan kesederhanaan dan kemudahan, mudah dimengerti dan adil, adanya kepastian hukum, serta menghindari adanya pajak berganda (Darwin, 2012). Adanya aspek keadilan ini menunjukkan bahwa hal tersebut memang menjadi faktor penting dalam penerapan PBB. Sesuai pasal 6 ayat 1 UU PBB, Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) merupakan dasar bagi pengenaan pajak bumi dan bangunan. Maka dari itu, penilaian objek bumi dan bangunan yang akan menentukan besaran NJOP (PMK RI No. 208/PMK.07/2018) menjadi hal yang krusial dalam penentuan PBB. Pengoptimalan penilaian yang didasarkan pada asas keadilan dapat menjadi salah satu upaya untuk meningkatkan penerimaan PBB P2 di berbagai daerah.
      Sentral bisnis suatu wilayah biasanya berada di pusat kota. Di kawasan ini, umumnya harga properti lebih tinggi dibandingkan kawasan lainnya. Hal ini disebabkan oleh manfaat ekonomis yang dapat diperoleh dari kawasan sentral bisnis juga bisa dikatakan cenderung lebih banyak dibandingkan dengan kawasan yang kurang ramai. Misalnya, ada dua tanah kosong, satu berada di Central Business District (CBD) dan satunya berada di pinggiran kota. Tanah yang berada di CBD tentu memiliki aksesibilitas yang lebih baik ke fasilitas-fasilitas umum yang biasanya terpusat di tengah kota.
      Selain itu, jika dilakukan pengembangan di kedua tanah tadi biasanya harganya akan menjadi lebih mahal untuk tanah yang berada di sentral bisnis. Hal ini terjadi meskipun pengembangan dari kedua tanah tersebut sama. Perbedaan harga ini terjadi karena tingkat permintaan properti yang berbeda antara di pusat kota dan pinggiran kota. Maka dari itu, umumnya harga properti di pusat kota lebih tinggi.
      Pada kondisi riilnya, NJOP seringkali berada di bawah harga pasar (Hasyim, dkk., 2020). Meskipun begitu, untuk mewujudkan prinsip keadilan, maka ketika harga pasar bergerak menjadi lebih tinggi tentu NJOP-nya juga seharusnya lebih tinggi. Hal ini berhubungan dengan manfaat ekonomis yang telah disebutkan sebelumnya. Oleh karena itu, analisis penilaian NJOP juga perlu memerhatikan aspek sentral bisnis suatu wilayah secara komprehensif.
      PBB termasuk dalam golongan pajak objektif (Pertiwi, dkk., 2014). Artinya, besaran pajak ini bergantung pada kondisi sebenarnya dari objek pajak tersebut, bukan bergantung pada kondisi dari wajib pajaknya. Misalnya, ketika seseorang yang berpenghasilan rendah memiliki tanah dan bangunan di pusat kota, maka pengenaan tarif NJOP-nya tetap sesuai dengan kondisi objek pajak tersebut yaitu tanah dan bangunan di pusat kota serta bagaimana keadaan fisiknya. Maka dari itu, verifikasi lapangan perlu dioptimalkan untuk mendapatkan informasi letak relatif objek pajak sehingga penentuan NJOP dapat sesuai dengan kondisi sebenarnya dan prinsip keadilan dapat dioptimalkan pula.
      PBB P2 merupakan salah satu sumber penerimaan daerah dan dalam penerapannya diperlukan asas keadilan, khususnya dalam penentuan NJOP. Menurut penulis, saat ini penentuan NJOP sudah cukup mengimplementasikan asas keadilan. Namun, hal tersebut dapat lebih dimaksimalkan pemerintah daerah dengan dua upaya. Pertama, pengoptimalan analisis berdasarkan sentral bisnis suatu wilayah. Kedua, peninjauan langsung ke objek pajak secara berkala untuk mengidentifikasi kondisi aktualnya. Kedua upaya ini diharapkan dapat menjadi pertimbangan bagi pemerintah daerah agar penerimaan PBB P2 semakin optimal dan dapat meningkatkan kemakmuran masyarakat.
Referensi:
Peraturan Menteri Keuangan RI Nomor 208/PMK.07/2018 tentang Pedoman Penilaian Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan
Badan Pusat Statistik. (2024). Realisasi Penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan Menurut Kabupaten/Kota (Ribu Rupiah), 2021-2023. Badan Pusat Statistik Provinsi Kalimantan Barat. URL: Â https://kalbar.bps.go.id/indicator/13/239/1/realisasi-penerimaan-pajak-bumi-dan-bangunan.html
Darwin, J. (2012). EVALUASI KINERJA KARYAWAN DALAM MEMBERIKAN PELAYANAN KEPADA WAJIB PAJAK DI KANTOR PELAYANAN PAJAK BUMI DAN BANGUNAN (KP. PBB) PALEMBANG. Jurnal Media Wahana Ekonomika, 9(3), 62-70.
Hasyim, A. W., Pandiangan, A. B., & Sasongko, W. (2020). Perbedaan Harga Pasar Lahan Dan Ketetapan Harga Lahan Oleh Pemerintah (NJOP) Di Kecamatan Sidoarjo. GEOGRAPHY: Jurnal Kajian, Penelitian dan Pengembangan Pendidikan, 8(1), 46-56.
Pemerintah Kota Tangerang (2024). Bapenda Kota Tangerang Catat, Realisasi PBB-P2 dan BPHTB Tahun 2023 Capai Rp1,1 Triliun. Tangerang. URL: https://www.tangerangkota.go.id/berita/detail/40097/bapenda-kota-tangerang-catat-realisasi-pbb-p2-dan-bphtb-tahun-2023-capai-rp1-1-triliun
Pertiwi, R. N., Riska, D. F. A., & Kurniawan, B. C. (2014). Analisis Efektivitas Pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan. Jurnal Perpajakan, 3(1).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H