Berbagai pihak saling tuding, semua orang bicara keadilan, tapi sedikit orang yang benar-benar melakukan keadilan.
Akhirnya, kita terjebak dalam stigma bahwa keadilan sudah tidak bisa diharapkan dari hukum yang demikian.
Menurut Lawrience M. Friedman bahwa penegakan hukum (law inforcement) hanya bisa akan ditegakan apabila tiga hal ini baik, yaitu: Substansi, Struktur dan Kultur.
Substansi yang dimaksud oleh Friedman mengacu pada isi hukum, pada konteks positivistik adalah bagaimana isi peraturan perundang-undangan itu bisa mengatur dengan baik warga negara. bicara tentang bagaimana lahirnya sebuah undang-undang yang baik, maka kita akan berbicara tentang hal itu dari para legislatif yang baik. Legislatif yang baik dipilih dari pemilu yang baik. Pemilu dengan money politic akan sulit mengharapkan adanya legislatif yang baik, dan akhirnya kita akan mendapati produk aturan yang buruk –sebagai hasil dari pemilu yang buruk tersebut.
Selanjutnya, struktur. Struktur adalah bagian-bagian yang terlibat secara struktural dalam penegakan hukum. Seperti hakim, jaksa, polisi, advokat dan penyidik. Orang-orang yang duduk sebagai aparat ini adalah individu-individu yang lahir dari masyarakat. Masyarakat yang buruk akan menghasilkan individu-individu yang buruk pula. Diantara kedua faktor penegakan hukum lain, struktur inilah yang paling berperan untuk menegakan hukum, bahkan Lawrience M. Friedman mengatakan bahwa dengan hakim dan jaksa yang baik, iya akan mampu menegakan hukum yang baik walaupun memakai undang-undang yang buruk.
Terakhir, yaitu kultur. Budaya dari sebuah masyarakat akan ikut memengaruhi penegekan hukum. Sebut saja misalnya undang-undang telah mengatur tentang bagaimana untuk berkendara dengan benar dan memakai pengaman, lalu aparatpun telah menangkap dan menghentikan para pengendara yang tidak menggunakan helm misalnya. Dalam konteks ini dua faktor telah bekerja dengan baik, tapi sebut saja pengendara tersebut mengatakan “saya mau damai saja pak, gak usah disidangkan, nih uang.” Nah, inilah yang disebut dengan kultur.
Maka dari itu semua, untuk mendapatkan keadilan yang benar-benar kita impikan, mutlak rasanya mewujudkan atau memperbaiki tiga faktor diatas. Faktor itu hanya bisa dibentuk melalui rekayasa kebudayaan.
Rekayasa kebudayaan adalah sebuah doktrin yang diberikan kepada anak-anak bahwa kita adalah bangsa yang taat hukum dan membenci setiap ketidak adilan. Kenapa harus melalui kebudayaan? Karena budaya akan membentuk struktur dan subtansi hukum sebuah negara.
Sementara itu Budaya atau kebudayaan berasal dari bahasa Sanskerta yaitu buddhayah, yang merupakan bentuk jamak dari buddhi (budi atau akal) diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi, dan akal manusia. Maka dari itulah rekayasa kebudayaan dengan menyerang pola pikir dan membentuk paradigma baru kepada setiap anak didik bahwa kita adalah bangsa yang mencintai keadilan dan menolak semua bentuk kejahatanlah kita bisa berharap akan mendapati sebuah penegakan hukum yang ideal.
Rekayasa kebudayaan ini bukanlah visi lembaga pendidikan semata, tetapi untuk menerapkannya diperlukanlah perjuangan dari semua pihak, terutama keluarga.