Rekayasa Kebudayaan: Untuk Mencapai Hukum Yang Berkeadilan Oleh: Taufik Rahman
Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu Jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk Berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. dan bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.
(Q.S Al-Maidah: 8)
Ada adagium berbunyi “banyak orang bicara keadilan, tetapi hanya sedikit orang yang berlaku adil.” Benarkah? Jika hal ini ditanyakan kepada orang-orang yang menjalani pesakitan karena tidak adilnya suatu putusan pengadilan atau tidak puasnya seseorang terhadap putusan itu maka hal itu bisa dijadikan ukuran. tetapi, apakah adigium seperti itu menutup pintu bagi kita untuk menuliskan hal-hal tentang keadilan. Karena seseorang tidak akan pernah bertindak adil jika iya tidak pernah membicarakannya.
Dalam ranah hukum kita yang banyak dipengaruhi oleh aliran positivistik ala Hens Kelsen dan John Austin lalu mengambil sedikit pemahaman sosiological jurisprudence –nya ala Roscoe Pond, maka seharusnya secara das sollen kita sebagai warga negara Indonesia tidak lagi perlu mengkhawatirkan akan makna keadilan dalam penegakan hukum kita. Dalam konteks ini hukum memang terpisah dari nilai moral tapi dilain sisi iya akan selalu memperhatikan gejala apa yang hidup dalam masyarakat untuk dijadikan sebuah hukum.
Tapi nyatanya, (das sein) masyarakat kita masa kini telah kehilangan kepercayaan kepada hukum. Hukum tidak lagi dianggap sebagai alat mencapai keadilan orang banyak ataupun membuat masyarakat bahagia. Hukum dijadikan sebagai alat untuk kepentingan-kepentingan kelompok dan perseorangan. Sudah tidak menjadi rahasia lagi bahwa dalam sistem hukum di tanah air dikenal istilah makelar kasus, mafia peradilan, projek, negosiasi putusan, suap jalanan, panjar pemerikasaan, katabelece bagi para saksi dan yang paling parah suap untuk hakim. Semua istilah itu cukup untuk menggambarkan betapa kekuasaan kehakiman yang kita harapkan sebagai kekuasaan yang merdeka dan bebas dari unsur apapun telah kehilangan ruhnya. Memang, tidak semua hakim dipengadilan melakukan praktik-praktik kotor diatas, tetapi adanya praktik-praktik semacam itu dilembaga penegak hukum sudah cukup membuat perasaan kita terhadap keadilan hukum menjadi tercederai.
Menariknya, negara yang mengklaim sebagai negara hukum ini sepanjang perjalanannya tidak pernah bisa menegakan hukum dengan baik. Harapan akan tegaknya hukum yang memihak kepada keadilan dari awal kedatangan belanda yang membawa hukum warisan Prancis masih tidak bisa memberikan keadilan bagi seluruh rakyat Hindia Belanda kala itu. Bagaimana tidak? Sejarah kita mencatat bahwa hukum antara orang pribumi dan Eropa dibedakan dengan sangat tajam. Hukum yang seharusnya dipraktikan untuk menegakan keadilan oleh pemerintah kolonial saat itu digunakan untuk merampas tanah milik pribumi, dengan dalih tanah pribumi tersebut tidak memiliki surat tanah. Belakangan kita mengenal cara kotor melalui hukum yang dilakukan pemerintah kolonial tersebut dengan politik Demand Var Claring. Tidak hanya itu, setiap gubernur jendral saat itu juga memiliki hak yang disebut hak exxorbitant, dengan hak itu sang gubernur jendral tanpa proses pengadilan bisa saja mengasingkan seseorang yang dianggap membahayakan pengadilan.
Pun dengan saat era kemerdekaan, pemerintahan Soekarno dan Soeharto, Peradilan yang seharusnya jika menurut teori kekuasaan Montesqiau harus terpisah dari dua kekuasaan lain (Eksekutif dan Legislatif) nyatanya berada dibawah langsung kekuasaan presiden. Presiden bisa saja suatu saat mengintervensi suatu persidangan dengan dalih menjaga stabilitas nasional.
Akhirnya, walaupun diera reformasi kekuasaan kehakiman secara tekstual lepas dan tidak terpengaruh dengan dua kekuasaan lainnya, nyatanya hukum yang digadang-gadang sebagai pimpinan diera reformasi justru memiliki masalah dengan para aparatnya sendiri.