[caption caption="ilustrasi"][/caption]
Oleh: Taufik Rahman
Edward Douwes Dekker dalam bukunya mengungkapkan dengan gamblang bahwa ketidakadilan untuk kaum bumiputra, penindasan, kekerasan, bahkan hingga perampokan itu tidak semata-mata dikarenakan oleh pengaruh gubermen Hindia Belanda, tetapi karena ketamakan, kerakusan dan miskinnya bupati suatu wilayahlah yang menjadi faktor utama dari semua itu (Lihat Max Havelaar: Lelang Kopi Maskapai Dagang Belanda). Bahwa gaji yang tidak sesuai dengan gaya hidup merekalah yang menjadikan mereka cenderung berbuat seperti itu kepada rakyatnya sendiri. Oleh residen dan asisten residen suatu wilayah, apa yang bupat itu lakukan sering kali diamini dengan ikut melakukan hal yang sama kepada pribumi.
Selanjutnya, Bung Karno juga pernah mengungkapkan bahawa perjuangan kita sebagai bangsa merdeka jauh lebih sulit lagi, karena melawan bangsa sendiri. Kata melawan yang diungkapkan oleh Bung Karno menyiratkan sebuah pertentangan antara kebaikan dan keburukan, dan hal itu ada pada diri bangsa Indonesia modern.
Dalam tulisan berbeda Mochtar Lubis memandang manusia Indonesia masa kini adalah manusia munafik, oleh karena di satu pihak mendengung-dengungkan persamaan dan demokrasi, akan tetapi dalam kehidupan sehari-hari memupuk perbedaan status dan membentuk sekat-sekat sosial yang sulit diterobos orang luar. (Lihat Manusia Indonesia) begitu juga menurut Syafii Ma’arif bahwa struktur sosial bangsa kita masih bersifat menindas.
Rasanya, memerhatikan setiap pendapat yang dilontarkan oleh tokoh-tokoh diatas membuat perasaan kita sebagai bangsa Indonesia menjadi sangat tersinggung, marah, dan tidak terima dikatakan begitu. Kita menurut pengalaman kita terhadap apa yang dirumuskan oleh founding father bahwa manusia Indonesia adalah bangsa beradab, bangsa yang menghargai setiap orang, bangsa berketuhanan, bangsa berkeadilan, bangsa yang cinta persatuan dan bangsa yang jauh dari sifat-sifat yang dikemukakan oleh tokoh-tokoh itu.
Tetapi, pertanyaannya sekarang adalah, tokoh-tokoh diatas bukanlah tokoh yang menghendaki kehancuran bagi bangsa ini. E.D. Dekker lewat tulisannya dalam Max Havelaar telah membuat pemerintah kolonial memberlakukan politik etis di Hinda Belanda kala itu, Soekarno seorang proklamator –bapak bangsa. Tidak ada alasan tokoh-tokoh itu menjadi duri dalam sekam terhadap keberlangsungan mental bangsa Indonesia.
Maka dari itulah –bertepatan dengan momen perayaan 70 tahun kemerdekaan, kita sebagai bagian dari sebuah nasion harus kembali diam merenung sebentar, merefleksikan setiap hal yang kita miliki sebagai bangsa Indonesia. Menghayati bagaimana pribadi kita sebenarnya sebagai satu kesatuan negara. pemahamaan yang benar akan diri sendiri akan membuat kita mengerti siapa kita sebenarnya, siapa kita sebagai bangsa Indonesia.
Pemahaman yang ingin kita capai saat ini dalam kerangka berpikir terbatas saya harus terlepas dari nilai-nilai dogma ataupun postulat. Pemahaman semacam itu hanya akan menjadikan kita pengikut dogma masa lalu. Kita harus berangkat dari pengalaman empiris yang nyata, karena itu mewakili karakter kita sebenarnya.
Refleksi kecil sifat bangsa
Dalam sejarah berhasilnya Belanda melakukan penjajahan terhadap bangsa Indonesia, disebabkan oleh karena seringnya kerajaan-kerajaan diwilayah yang berdekatan berperang satu sama lain. Dikesempatan ini Belanda sering membantu salah satu kubu untuk memenangkan perang lalu kubu dan mengambil kesempatan untuk ikut berkuasa. Kebiasaan berperang satu sama lain menyiratkan kepada kita, nenek moyang kita merupakan orang-orang yang tamak, rakus, dan mengejar kekuasaan (invasi). Tetapi itu bukanlah hal yang perlu kita takutkan karena setiap bangsa selama dia adalah bagian dari spesies bernama manusia dia akan memiliki sifat tersebut. Selanjutnya, sikap minta tolong kepada kolonial merupakan sikap yang mengindikasikan kurang percaya terhadap kemampuan diri sendiri dan ciri dari karakter yang lemah.
Selanjutnya, masuknya islam di Indonesia. Dalam sebuah diskusi dengan seorang dosen beliau mengatakan kepada saya (penulis) bahwa islam masuk ke Indonesia tidak melalui jalur syariat (hukum) tapi dikarenakan oleh ajaran tasawuf. Selanjutnya saya mendapati dalam sebuah sumber rujukan yang saya lupa, bahwa kesenangan masyarakat nusantara dengan hal-hal mistis dan ada kaitannya dengan konsep mistisme dalam tasawuf juga menjadi salah satu faktor kenapa masyarakat Indonesia mudah diislamkan, selain cara dan halusnya pendekatan para pendakwah islam itu sendiri yang cerdik.
Berbeda dengan nasrani yang dibawa oleh orang-orang kolonial yang coba disebarkan dengan kekuasaan dan kekerasan hanya sedikit bisa mengkristenkan bangsa Indonesia. Fakta ini mengindikasikan bahwa bangsa kita adalah bangsa yang kuat sekaligus bangsa yang lemah. Kuat karakternya ketika ditindas, ditekan dan dipaksa. Tapi lemah karakter dan sikapnya ketika didekati dengan cara yang halus. Kelemahan karakter itu kita lihat ketika dahulu sebagian besar masyarakat nusantara adalah beragama hindu-budha dan sekarang hampir seluruhnya islam. Kalau seandainya kita adalah bangsa dengan karakter yang kuat saat ini rasanya kemungkinan besar kita masih banyak menganut hindu-budha.
Terakhir, seringkali kita mendengar ungkapan “wajarlah, kan orang Indonesia”, “malas itu adalah Indonesia” ataupun tulisan-tulisan busuk yang menghina negeri sendiri. Benarkah tulisan atau ungkapan seperti itu? Jawabannya bisa benar bisa salah. Jawabannya salah saat anda memperhatikan para petani dan pedagang kita, didaerah saya petani dan pedagang akan bangun sejak dini hari, mereka selalu berangkat kesawah dan kepasar selalu sebelum terbit matahari dan pulang biasanya hingga waktu ashar. Terkadang, ketika musim panen tiba tidak sedikit dari mereka yang bermalam disawah. Apakah orang-orang ini yang dikatakan malas? Benar saat sebagian dari kita berkelakuan seperti ungkapan-ungkapan itu. Sering terbawa arus pendapat orang, lekas terbawa pengalihan isu dan latah itulah ciri-ciri yang didapat dari fakta terakhir.
Konklusi
Dari semua fakta empiris diatas dapat kita rumuskan bahwa tabiat bangsa ini bukanlah baik ataupun buruk, bukan pula memeras ataupun memberi. Tapi secara berat hati harus saya tuliskan bahwa bangsa ini adalah bangsa yang lemah prinsip. Bangsa yang secara karakter masih terlalu prematur untuk disentuh sebuah arus global tanpa moral.
Memang, di usia 70 tahun disatukan sebagai bangsa yang heterogen dari berbagai suku dan klan, memiliki karakter seperti itu bukanlah hal buruk. Sebagai bangsa yang dibentuk dari bahan yang berbeda akan sangat sulit bagi kita untuk membuat sebuah kekuatan prinsip dan karakter. Berbeda dengan Inggris yang dibentuk oleh ras Anglo-Saxon atau negara-negara Skandinavia yang dibentuk oleh suku mayoritas, yaitu viking.
Indonesia adalah sebuah negara dengan ratusan suku yang berbeda, maka untuk dapat menguatkan karakter dari nasion berbagai suku itu, yang pertama harus dilakukan adalah menguatkan karakter kesukuan itu sendiri, karena karakter adat dalam suku seringkali berpijak pada nilai-nilai moral dan kebaikan.
Selanjutnya, kita sebagai nasion haruslah kembali menguatkan hati dan pikiran kita kepada nilai-nilai yang ada di pancasila, kenapa karena sejatinya nasion bernama Indonesia itu tidak punya karakter. Tetapi karakter dari Indonesia itu diperas dari nilai-nilai dan sesuatu yang hidup dari suku-suku yang berbeda.
Yang paling penting dari semua itu adalah kita tidak boleh menjadi bangsa yang latah, bangsa yang lekas dan mudah terpedaya oleh isu-isu pengalihan ataupun pengaruh dari luar negeri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H