Mohon tunggu...
Taufik Firmanto
Taufik Firmanto Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Kader Muda Muhammadiyah. \r\n\r\nAlumnus Magister Ilmu Hukum \r\nUniversitas Gadjah Mada Yogyakarta.\r\n\r\nSeorang Lelaki kampung (insya Allah tidak kampungan), berasal dari Bima, sebuah kabupaten terpencil namun strategis di Pulau Sumbawa NTB, yang terletak di belahan selatan bumi Nusantara, hampir tidak masuk peta karena tidak populer dan kurang komersil. \r\nAyah dari seorang Putera yang berharap si kecil kelak menjadi orang besar.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Otonomi Khusus Papua; Dinamika dan Solusi Pemecahannya

26 April 2012   14:59 Diperbarui: 4 April 2017   17:51 12260
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13354519051089275312

Pendahuluan

Indonesia sebagai Negara Bangsa (nation state), mewadahi banyak keragaman budaya yang tumbuh di dalam masyarakat. Setiap keragaman budaya yang tumbuh di tanah air terbentuk melalui proses sejarah yang sangat panjang. Berbagai suku, bahasa, agama, sosial budaya, dan adat istiadat tumbuh subur di pelosok Nusantara dari waktu ke waktu, dari masa ke masa.

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, telah mengamanatkan suatu bentuk pemerintahan daerah, yang mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan, hal ini diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan, pelayanan, pemberdayaan, dan peran serta masyarakat, serta peningkatan daya saing daerah dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, keistimewaan dan kekhususan suatu daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Ketentuan-ketentuan dalam konstitusi tersebut, mengamanatkan Negara Kesatuan Republik Indonesia diselenggarakan dengan pengaturan antar daerah yang tidak seragam antara satu sama lain. Dalam hubungan antara pusat dan daerah atau daerah propinsi dengan kabupaten/kota dimungkinkan adanya pola hubungan yang bersifat khusus seperti propinsi Papua. Pengaturan demikian dimaksud untuk menjamin agar seluruh bangsa Indonesia benar-benar bersatu dengan keragaman dalam bingkai Negara Kesatuan.

Namun demikian, amanat pelaksanaan pemerintahan daerah melalui kebijakan desentralisasi yang mulai dilaksanakan 1 Januari 2000, dalam praktik implementasinya tidaklah mudah. Kondisi geografis, tingkat kesuburan dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya tidak merata, berbeda antar satu daerah dengan daerah lainnya. Demikian juga dengan jumlah penduduk ,kualitas intelektual, termasuk sebarannya juga berbeda antara satu daerah dengan daerah lainnya. Kondisi geografis dan demografi tersebut dapat menimbulkan banyak permasalahan dalam pelaksanaan otonomi daerah.

Otonomi daerah dimaksudkan untuk memberikan kewenangan dan keleluasaan yang lebih luas kepada daerah didalam mengatur dan menyelenggarakan pemerintahan daerah termasuk kewenangan dalam pengelolaan sumber daya alam di wilayahnya guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Pengaturan dalam UU No. 22 1999 ini memberikan kewenangan yang luas kepada daerah untuk mengatur dan mengurus urusan rumah tangga sendiri. Namun, ruang yang disediakan oleh Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 itu dianggap masih belum mampu mengakomodasikan kekhasan budaya dan adat istiadat masyarakat Papua, baik dalam pengelolaan pemerintahan maupun pembangunan di wilayah Papua.

Berbagai kalangan di Papua menuntut untuk mengembangkan kekhasan budayanya dalam konteks NKRI melalui kebijakan pada tingkat nasional yang bersifat khusus. Sejalan dengan nafas desentralisasi paska reformasi, aspirasi dan tuntutan yang berkembang itu, kemudian direspon oleh pemerintah dengan terbitnya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Penyelenggaraan Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua. Melalui kebijakan ini diharapkan dapat mengurangi kesenjangan antar Provinsi Papua dengan provinsi-provinsi lain dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia, serta akan memberikan peluang bagi orang asli Papua untuk berkiprah di wilayahnya sebagai subjek sekaligus objek pembangunan.

Hal ini adalah suatu kebijakan yang bernilai strategis dalam rangka peningkatan pelayanan, akselerasi pembangunan, dan pemberdayaan seluruh rakyat di Papua. Otsus Papua sebenarnya didesain sebagai langkah awal dalam rangka membangun kepercayaan rakyat kepada pemerintah, sekaligus merupakan langkah strategis untuk meletakkan kerangka dasar yang kukuh demi tuntasnya masalah di Papua. UU Otsus Papua lahir karena sejak penyatuannya ke Indonesia, masih ada persoalan pemenuhan rasa keadilan bagi rakyat Papua, belum tercapainya kesejahteraan rakyat, belum tegaknya hukum di Papua, dan belum adanya penghormatan hak asasi manusia (HAM) khususnya terhadap warga Papua.

Masalah Yang Muncul

Pada tataran ideal, adanya kewenangan yang besar dengan berlakunya UU Otsus Papua, diharapkan mampu menjadi solusi bagi masyarakat yang selama ini termarginalkan oleh pembangunan. namun pada tataran kenyataannya berbagai persoalan pembangunan mengemuka seakan menjadi problem yang tak terselesaikan melalui pelaksanaan UU Otsus. Pemberlakuan kebijakan ini oleh sebagian kalangan dianggap belum memberikan perubahan yang signifikan terhadap pelaksanaan fungsi pemerintahan dalam hal melayani (service), membangun (development), dan memberdayakan (empowerment) masyarakat.

Dalam pelaksanaannya, Otsus Papua mengandung beberapa masalah krusial, yang muara dari masalah-masalah tersebuat adalah kesejahteraan. Setidaknya ada tiga (3) masalah, yaitu:

1.Ketidaksamaan pemahaman dan kesatuan persepsi; ada respon positif dan negative, respon negative seperti permintaan referendum.

2.Saling ketidakpercayaan antara masyarakat Papua dan Pemerintah Pusat. Ini disebabkan masih adanya pelanggaran HAM dan intimidasi pada rakyat Papua, dan telah menimbulkan kekecewaan yang sangat mendalam sehingga mereka memilih alernatif memisahkan diri dari NKRI.

3.Masalah ketidaksiapan pemerintah daerah, hal ini terlihat dari kualitas sumber daya manusia yang ada.

Sementara itu pada sisi yang lain, Pemerintah menilai pelaksanaan otonomi khusus Papua masih jauh panggang dari asap. dari sisi pengaturan misalnya, peraturan turunan UU Otsus No35/2008 yang harusnya dibuat ternyata tidak direalisasikan. Sehingga implikasinya menyebabkan ada ketidakjelasan urusan pengelolaan dan tumpang tindih pengelolaan kewenangan. Di tingkat daerah ternyata Pemprov Papua, Pemprov Papua Barat, DPRP, DPRPB, MRP, MRPB belum menyelesaikan beberapa Perdasus dan Perdasi sebagai implementasi UU Otsus. Akibatnya, pelaksanaan wewenang, tugas, dan tanggung jawab serta pola dan mekanisme kerja sama belum dibangun, sehingga kinerja yang dihasilkan belum optimal.

Dalam pengelolaan keuangan pun, masih terdapat masalah mendasar. Hingga kini pembagian dan pengelolaan penerimaan dana Otsus hanya diatur Peraturan Gubernur. Sementara kabupaten dan kota tidak memiliki acuan dan petunjuk teknis dalam pengelolaan dana otsus. Dan ini membuka peluang dana otsus diselewengkan. Sejalan dengan perihal ini, Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional merekomendasikan agar pemda Papua dan Papua Barat segera menyusun perda yang mengatur tentang koridor pengalokasian dana otonomi khusus (Otsus) yang nilainya mencapai Rp.40 triliun per tahun.

Apa yang Harus Dilakukan

Krisis sosial dan politik yang tak kunjung berakhir di Papua, meskipun sejak 2001 telah dilaksanakan kebijakan Otonomi Khusus di Papua, pada hakikatnya bersumber dari masalah ketidakadilan sosial sekaligus ketidakadilan struktural yang terjadi selama ini--yang justru atas nama kebijakan Otonomi Khusus (Otsus) yang dilaksanakan di provinsi tersebut.

Banyak temuan mengindikasikan bahwa kebijakan Otsus, dalam kerangka penerapan sistem desentralisasi asimetris tersebut, yang diiringi dengan mengalirkan sejumlah besar uang melalui dana Otsus, ternyata tak berkorelasi dengan perbaikan kesejahteraan mayoritas masyarakat Papua. Bahkan terdapat indikasi kuat aliran dana Otsus tersebut lebih banyak memperkaya pundi-pundi para elite penguasa lokal di Papua. Hal itu akibat besarnya dana Otsus yang membuat iri banyak daerah lain tersebut selama ini tak diimbangi dengan penerapan sistem responsibilitas dan akuntabilitas dalam pemanfaatannya.

Pada 2012, pemerintah akan mengucurkan dana Otsus sebesar Rp 3,83 triliun untuk Papua dan Rp 1,64 triliun untuk Papua Barat. Alokasi dana Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2012 naik 23 persen dibanding pada 2011.

Namun sejumlah data memperlihatkan bahwa salah urus penggunaan dana Otsus Papua tersebut telah terjadi cukup lama. Menurut temuan BPK, selama 2002-2010, untuk dana Otsus, Papua dan Papua Barat mendapat alokasi anggaran sebesar Rp 28,8 triliun. Tetapi BPK hanya mengaudit 66, 27% dari dana sebesar Rp 19,1 triliun itu dan menemukan ada indikasi penyelewengan sebesar Rp 319 miliar. Hal itulah yang kemudian memunculkan desakan dari berbagai elemen agar KPK RI segera melakukan pengusutan indikasi penyimpangan dana Otsus Papua yang disinyalir hanya dinikmati segelintir elite politik.

Suatu hal yang kontradiktif, di saat segelintir elite yang berkuasa menikmati kucuran dana Otsus, mayoritas masyarakat di Papua tetap berkubang dalam kemiskinan. Hasil temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) tentang adanya kerugian negara sebesar Rp 319 miliar harus menjadi pijakan awal pemerintah untuk menjawab persoalan ketidaksinkronan besaran kucuran dana kepada Papua dan Papua Barat.

Otonomi daerah seharusnya mampu membuat masyarakat setempat menjadi semakin berdaya, bukan teperdaya. Realitas yang ada saat ini, mayoritas masyarakat Papua masih tetap mengalami kesulitan untuk mengakses pendidikan/kesehatan, tingkat kesejahteraannya masih jauh dari kelayakan, sarana dan prasarana kehidupan sosialnya masih sangat memprihatinkan, terutama di daerah pedalaman Papua.

Kebijakan pencairan dana Otsus ke depan harus dipantau secara ketat untuk menjamin efektivitasnya terhadap perbaikan kesejahteraan masyarakat Papua; penanggulangan kemiskinan; pembangunan sekolah-sekolah termasuk pengadaan guru-guru, sarana, dan prasarana pendidikan yang layak; pembangunan fasilitas kesehatan masyarakat; serta pembangunan infrastruktur sosial yang layak dan merata di seluruh daerah. Di samping itu, indikasi penyelewengan dana Otsus Papua yang sudah terjadi harus diusut secara komprehensif, untuk menemukan aktor-aktornya yang harus bertanggung jawab, modus operandinya, dan langkah preventif untuk perbaikan pengelolaan dana Otsus ke depan.

Di samping langkah tersebut, pemerintah perlu mengevaluasi dampak penerapan Otsus yang selama ini masih belum memberikan manfaat bagi mayoritas masyarakat Papua, karena berbagai indikasi terjadinya praktek penyimpangan penggunaan dana Otsus untuk kepentingan segelintir elite penguasa di Papua. Kebijakan Otsus akan memiliki arti bagi masyarakat jika mereka dapat merasakan keadilan, terutama untuk menikmati hasil-hasil sumber daya alamnya sendiri.

Membangun dan mempertahankan integrasi nasional adalah unfinished agenda yang dilaksanakan dengan membangun dan menghidupkan komitmen untuk bersatu, membangun jiwa musyawarah dalam kerangka demokrasi, membangun kelembagaan yang menyuburkan persatuan dan kesatuan, merumuskan regulasi dan undang-undang yang konkrit, serta membutuhkan kepemimpinan yang arif dan efektif. Untuk melakukannya diperlukan konsistensi yang arif dan efektif, kesungguhan dan sekaligus kesabaran. Agar upaya pembinaan (yang tidak hanya dilakukan oleh pemerintah) ini efektif dan berhasil, diperlukan pula tatanan, perangkat dan kebijakan yang tepat, kerangka yang sebaiknya dibangun dalam upaya memperkukuh integrasi nasional.[]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun