Mohon tunggu...
taufik hidayat
taufik hidayat Mohon Tunggu... -

selalu ingin belajar

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Dilema Tes Keperawanan Terhadap Anak

18 Oktober 2010   04:33 Diperbarui: 26 Juni 2015   12:20 322
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Wacana tes keperawanan yang akan diterapkan kepada penerimaan siswi baru tingkat SLTP dan SLTA di Jambi telah menjadi isu nasional dan menimbulkan keperihatinan bagi setiap aktifis anak dan kalangan pendidik di seluruh Indonesia. Walaupun sebenarnya niatnya baik dalam rangka memperbaiki atau merubah pergaulan bebas yang sudah meluas menjadi pergaulan tidak bebas. Namun, niat baik saja tidak cukup untuk menolong anak keluar dari lingkungan pergaulan bebas yang telah menjadikan mereka sebagai korban dari lingkungan itu sendiri. Jangan sampai niat untuk menolong justru mencelakakan anak itu. Komisi IV DPRD Provinsi Jambi sudah seharusnya belajar dari ilustrasi cerita monyet dan ikan sebagai berikut: Suatu hari seekor monyet melihat ikan menggelepar-gelepar di sungai yang airnya surut. Si Monyet merasa iba dan langsung menolong si ikan dengan menaikkannya ke daratan. Tapi yang terjadi justru ikan itu mati. Si Monyet pun akhirnya menangis dengan sikap gegabahnya tersebut. Hikmah dari cerita ini adalah bahwa niat baik harus dilakukan dengan pengetahuan dan mengenali siapa yang akan ditolong tersebut. Hak Anak Tes keperawanan dari segi nama saja sudah diskriminatif, mengapa tidak ada tes keperjakaan. Andai pun hasilnya ditemukan anak sudah tidak perawan lagi kan belum tentu penyebabnya pergaulan bebas. Bisa saja karena alasan kecelakaan dalam berkendaraan dan lain sebagainya. Dikarenakan tidak perawan lagi apakah sekolah masih bersedia untuk menerimanya sebagai murid atau malah menolaknya secara halus. Sudah jatuh tertimpa tangga pula. Pepatah tersebut sungguh mewakili bagaimana sesungguhnya perasaan anak-anak jika mendapat perlakuan tes keperawanan tersebut yang akhirnya tetap saja menyakitkan. Tes keperawanan ataupun tes alat vital reproduksi ini merupakan pelanggaran terhadap hak-hak anak yang telah diamanahkan di dalam Undang-Undang No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan Konvensi Hak Anak. Diantara hak yang dilanggar tersebut adalah hak anak atas kehidupan pribadinya (privacy), perlindungan terhadap kekerasan dan diskriminasi, menyatakan pendapat dan didengar pendapatnya. Setiap anak memiliki kehidupan pribadinya yang harus dihormati dan dihargai oleh negara, masyarakat dan keluarga. Kehidupan pribadi itu termasuk apa saja yang melekat kepada si anak itu sendiri. Tanpa persetujuan anak siapa pun tidak boleh merampas dan memaksa kehidupan pribadi tersebut. Apalagi ini menyangkut alat reproduksi yang sangat sakral bagi setiap orang. Tes keperawanan itu sendiri jelas merupakan kekerasan karena akan melukai anak secara fisik dan mentalnya. Juga rentan terjadinya kekerasan seksual dalam bentuk pelecehan dan pemerkosaan. Dampaknya anak akan merasa malu, tertekan karena ejekan teman, cacian maupun pengucilan, trauma bahkan depresi mengancam setiap anak. Ini jelas merupakan bom waktu yang akan menyebabkan anak menjadi gila atau bahkan bunuh diri. Setiap anak berhak untuk menyatakan dan didengar pendapatnya. Seharusnya negara, masyarakat dan keluarga tidak bisa membuat keputusan yang berkaitan dengan anak tanpa melibatkan mereka. Tes keperawanan itu sendiri hanya baik menurut Komisi IV DPRD Provinsi Jambi tapi tidak bisa dijustifikasi bahwa itu juga terbaik untuk anak. Akar Permasalahan Kekhawatiran Komisi IV Provinsi Jambi tentang meluasnya pergaulan bebas antar remaja cukup diapresiasi dan berarti para wakil rakyat tersebut peduli terhadap realitas anak. Namun cara untuk mengatasi permasalahan tersebut bukan melalui tes keperawanan karena itu tidak menyelesaikan persoalan. Akar permasalahan dari pergaulan bebas disebabkan berbagai faktor diantara lemahnya pengawasan (control) orang tua terhadap anak, pengaruh media baik cetak terlebih lagi media elektronik (tivi dan internet) serta lingkungan itu sendiri. Solusi untuk itu negara harus melakukan sosialisasi kepada masyarakat terutama para orang tua dan guru serta pemegang kebijakan terkait dengan anak untuk memahami child right base approach (pendekatan berbasis hak anak) sebagaimana yang telah diatur di dalam Undang-Undang Perlindungan Anak dan Konvensi Hak Anak. Maksud pendekatan berbasis hak anak itu adalah suatu pendekatan yang menghormati dan menghargai hak-hak anak serta menjamin dan melindungi mereka agar hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaanya. Artinya jika pengasuhan orang tua dan guru selama ini menggunakan pendekatan hak anak maka hubungan dan komunikasi orang tua dengan anak akan berjalan dengan baik dan efektif. Karena orang tua maupun guru selalu menghormati dan menghargai pendapat si anak sehingga ia tahu bagaimana perkembangan anaknya itu sendiri dalam setiap diskusi-diskusi yang mereka lakukan. Namun seringkali orang tua maupun guru termasuk pemegang kebijakan mengambil jalan pintas dengan menghakimi anak sebagai perilaku yang nakal atau jahat. Tanpa melihat ujung pangkal ataupun sebab dari perbuatan kenakalan tersebut. Media juga berperan dalam merubah perilaku anak dari positif menjadi negatif ataupun sebaliknya. Peranan orang tua untuk mendiskusikan ini agar anak mampu memilih dan memilah acara tv maupun internet yang sesuai dan baik untuknya. Untuk itu ada baiknya orang tua menyepakti berbagai hal terkait dengan aturan main penggunaan media elektronik tersebut. Jika berbagai hal tersebut diatas dilakukan, kemungkinan pergaulan bebas di tingkatan remaja dapat diminimalisir. Kesimpulan Tes keperawanan merupakan gambaran bahwa sebagian pemimpin bangsa ini di setiap tingkatan levelnya masih saja belum memahami dan peduli tentang hak-hak anak itu sendiri. Selama para pemimpin tersebut belum tercerahkan dan mau membuka diri maka selamanya wacana maupun kebijakan yang tidak sensitif anak akan terus terjadi. Untuk itu kita berharap kepada setiap pemegang kebijakan bahwa apa pun permasalahan yang dihadapi oleh anak-anak, mereka jualah yang paling mengerti permasalahannya. Kebijakan yang partisipatif dengan melibatkan mereka dalam penanganan masalah tersebut akan membantu menyelesaikan masalah itu sendiri. Terakhir, kepentingan terbaik bagi anak bukan monopoli orang dewasa melainkan harus menyertakan anak dalam keputusannya untuk membangun masa depan anak yang lebih cerah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun