DPR RI masih memiliki magnitude untuk membetot perhatian publik. Setelah melewati dinamika kencang terkait perebutan Ketua (dan Wakil Ketua) beberapa saat lalu, maka terakhir lahir usulan pemekaran Komisi-Komisi yang ada di DPR RI. Seperti biasa, lahir pro dan kontra.
Secara garis besar, ide pengembangan Komisi di DPR RI berpijak pada argumentasi bahwa ada sejumlah masalah yang menghambat kinerja dan kecepatan reproduksi politik di Komisi, yang saat ini berjumlah sebelas. Sumber otoritas resmi, yakni dari pihak Ketua DPR RI, Setya Novanto, menyebutkan bahwa ada beberapa Komisi DPR yang memiliki ruang lingkup kerja yang terlalu luas, disertai oleh jumlah mitra kerja (Kementrian, Badan Negara, Komisi bentukan Pemerintah, dan BUMN) yang terlalu banyak. Kabarnya, pihak yang mengusulkan penambahan ini masih menggodok desain pengembangan komisi tersebut.
Di sisi lain, ada pendapat yang menyebutkan bahwa usulan itu tidak memiliki urgensi tinggi. Jumlah komisi dan nomenklatur kerja yang saat ini tersedia sudah cukup ideal. Penambahan komisi, dengan demikian, menjadi tidak perlu. Bahkan ada kesan hanya memperbanyak alokasi jabatan untuk kalangan tertentu.
Saya tak akan terlalu masuk dalam perkara ini. Kecuali satu hal jelas, Komisi sebagai alat kelengkapan DPR, memang secara substansial memegang fungsi kerja utama. Di komisi-lah dinamika politik harian (day to day politics) berlangsung. Ini berbeda, misalnya, dengan alat kelengkapan yang lain, yang "aksi" konkritnya hanya berlangsung sewaktu-waktu (seperti Badan Kehormatan atau Badan Kerjasama Antar Parlemen).
Praktek politik paling utama di parlemen, yakni legislasi, kontrol, dan anggaran, dilakukan di komisi-komisi. Per definisi, komisi bisa disebut sebagai dapur penggodokan kebijakan sosial, politik, ekonomi dan bahkan ideologi. Kegiatan serap aspirasi rakyat, komunikasi politik, analisis kebijakan, bargaining (tawar menawar), dan termasuk perdebatan argumentatif, juga berlangsung di komisi.
Di sinilah menjadi wajar jika Komisi-Komisi DPR RI dianggap sebagai instrumen vital bagi partai politik (melalui tangan-tangan fraksi). Para Anggota Komisi bisa memainkan peran politiknya secara lebih fokus, sesuai dengan ruang lingkup kerja yang diemban. Sementara partai juga memiliki ujung tombak yang bisa menjadi perantara sikap politik mereka (political will).
Di sisi lain, publik luas juga bisa terlibat langsung sesuai dengan "ruang politik" yang disediakan. Rakyat luas, bisa melakukan aspirasi, pressure, debat politik, hingga menyampaikan petisi dan audiensi.
Mari kita lihat, bahwa relatif hanya komisi-komisi sajalah yang paling tinggi frekuensinya dalam menggelar forum pertemuan (rapat), yang mempertemukan para pemangku kepentingan (pemerintah, LSM, media, rakyat, organisasi profesi, dan akademisi). Alat kelengkapan lain, tak memiliki mekanisme permanen sebagaimana komisi, seperti RAKER (mempertemukan komisi dengan pemerintah), RDP atau Rapat Dengar Pendapat (mempertemukan komisi dengan perwakilan pemerintah yang lebih teknis, seperti Dirjen), dan RDPU alias Rapat Dengar Pendapat Umum (yang mempertemukan komisi dengan khalayak luas, melalui perwakilannya, seperti LSM, organisasi profesi, kampus, dan lain-lain). Rata-rata, pelbagai mekanisme rapat dan persidangan itu selalu terbuka, bisa dipantau dengan langsung.
Dinamika
Lantas, kita bisa lihat: kinerja komisi menjadi penentu bagi produktivitas DPR RI. Artinya ada ruang rasionalisasi bila muncul usulan penambahan komisi. Tetapi sekaligus juga wajar untuk membela pihak yang kontra, karena bisa saja kinerja ditingkatkan, tanpa perlu menambah jumlah komisi.
Sesungguhnya, secara pribadi saya condong pada pilihan penguatan proses. Ingat, di Komisi tak hanya anggota DPR yang bekerja sendirian. Di situ ada peran Sekretariat Jenderal (yang mengelola urusan adminstrasi secara mendetail, ada juga pihak pemerintah yang secara tetap menjadi mitra kerja, ada Staf Ahli, dan ada para pemangku kepentingan.