Mohon tunggu...
Andi Taufan Tiro
Andi Taufan Tiro Mohon Tunggu... -

Anggota DPR RI, Fraksi Partai Amanat Nasional

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

"Gagal Paham" Formasi Kabinet

27 Oktober 2014   19:16 Diperbarui: 17 Juni 2015   19:33 266
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Selamat atas terbentuknya Kabinet Baru. Itu kalimat paling pantas untuk kita kemukakan saat ini. Berikutnya, kita ungkapkan harapan-harapan. Moga komposisi kabinet ini bisa memberikan yang terbaik untuk rakyat.

Tetapi yang jauh lebih penting dari semua itu adalah: kita sama-sama bekerja. Karena para menteri itu bukan sejenis Super Hero yang bisa mengatasi aneka persoalan sendirian. Para menteri lebih tepat kita posisikan sebagai pekerja profesional, intelektual, manajerial, sekaligus juga bekerja dengan sistem kolegial (kebersamaan).

Poin “kolegial” ini yang harus kita tafsirkan lebih detil.

Bukan apa-apa, manajemen negera ini tak sama dengan perseroan terbatas yang bisa dikelola dengan mengandalkan otoritas semata (misalnya otoritas keahlian atau otoritas kepemilikan). Negara ini juga bukan kampus, yang selesai ditangani oleh para pemikir, idealis, dan intelektual kaliber.

Negara, mengutip teori-teori politik moderen, adalah pemegang monopoli kekuasaan untuk memberikan perlindungan dan pelayanan kepada seluruh rakyat. Berhubung kita telah melaksanakan sistem demokrasi politik, maka monopoli kekuasaan ini harus dijalankan dengan lunak (soft power), akomodatif, dan fleksibel. Semua rumusan monopoli negara yang lunak itu, dilakukan demi optimalisasi fungsi perlindungan dan pelayanan negara kepada rakyat.

Di sinilah letak penting rasionalitas politik kita berjalan, dengan mengkritisi formasi Kabinet Kerja Jokowi – JK.

Bahwa formasi kabinet idealnya bekerja dengan daya adaptasi dan kelenturan politik yang mumpuni, agar bisa berjalan lancar, seraya mampu mendapat dukungan penuh dari segala kekuatan politik.

Titik inilah yang penting. Bagaimanapun realitas politik saat ini berlangsung dalam dinamika tinggi. Wajar jika kemudian meletus berbagai aspirasi (terkait Kabinet Kerja Jokowi – JK). Bila diurai, maka urutannya sebagai berikut:

Pertama, ulasan terhadap para individu yang ditunjuk jadi menteri. Beberapa dikatakan sesuai (the man on the right place), tetapi sebagian lagi dianggap salah posisi. Kedua, secara umum publik melihat komposisi menteri terbilang lumayan, dan memberikan kesempatan kepada mereka untuk bekerja. Ketiga, mempersoalkan tentang posisi kementrian yang berada di bawah kementrian koordinator, yang dianggap tidak pas. Misalnya, Menteri Desa dan Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi, yang dianggap lebih pas berada di bawah Kementrian Koordinator Bidang Perekonomian. Atau Kementrian ESDM, yang juga lebih pas di bawah Kementrian Koordinator Bidang Perekonomian.

Keenam, ada juga komentar yang menilai penggabungan bidang kerja dalam kementrian tertentu yang dianggap overlapping (tumpang tindih). Misalnya Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, sebagai bidang kerja yang sesungguhnya sudah include (bahwa bidang kehutanan adalah salah satu bidang kerja dalam ruang lingkup lingkungan hidup). Akan lebih tepat, bila nomenklatur-nya adalah Kementrian Lingkungan Hidup dan Tata Ruang.

Opini yang lahir ini, memiliki sisi obyektivitas yang tinggi. Terutama jika dikaitkan dengan pengalaman yang sudah-sudah. Bahasa sederhananya: komposisi kabinet bisa mengundang “gagal faham” di kalangan banyak orang.

Rumusan tersebut memang baru pandangan sekilas, dan sama sekali tak berbentuk hard opinion. Biarkan saja dulu mengalir sebagai bentuk perhatian dan interes bersama.

Secara pribadi, sebagai orang yang beraktivitas di parlemen, saya melihat beberapa poin yang nyaris terabaikan dalam komposisi Kabinet Kerja Jokowi – JK.

Dalam perspektif politik, “para pembantu Presiden” adalah person politik juga, yang mengemban misi politik, dan itu artinya mereka akan sering melakukan interaksi dengan kekuatan politik di parlemen. Ini bagian dari konektivitas antara eksekutif dan legislatif. Sebagian besar nama-nama yang terpampang, kurang menjanjikan dari aspek relasi politik aktual yang berkembang.

Jangan sampai, mereka yang terpilih ini “gagal faham” konstalasi politik yang berlangsung, dan ini justru kontra produktif.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun