Terkadang, kita dihadapkan pada suatu kondisi yang tidak terduga dan tidak bisa kita hindari. Rencana yang telah dibangun sedemikian rupa, nyatanya tidak serta-merta berjalan mulus dan tidak selalu lancar. Pada keadaan seperti ini, kita seringkali menjadi terburu-buru/panik, yang sudah rapi seolah menjadi berantakan, dan baik pikiran ataupun hati tidak bisa tenang. Ya, kemrungsung, begitu orang Jawa mengistilahkan keadaan tersebut.
Tapi, kemrungsung tidak hanya dikarenakan karena faktor eksternal yang tidak terduga. Kemrungsung juga biasanya terjadi saat kita mesti mengerjakan dua atau lebih pekerjaan dalam satu waktu, dengan tenggat waktu tertentu. Tanpa sadar, pikiran dan tenaga seolah kita paksa bekerja ekstra, dengan bayang-bayang ketakutan akan ketidakberuntungan atau ketidakberhasilan yang dihasilkannya.
Dalam keadaan seperti itu, kita sebenarnya rela untuk kehilangan kontrol terhadap diri, sedangkan kita hanya butuh ketenangan. Adakalanya, kita membutuhkan treatment untuk segera memutuskan satu atau banyak pilihan dalam waktu yang singkat. Treatment ini hanya bisa dilakukan saat kita berani menikmati situasi yang menyebabkan diri kemrungsung. Lhoh, kemrungsung kok dinikmati?
Kemrungsung adalah sebuah olah rasa yang terekspresikan. Tak jauh berbeda dengan ekspresi rasa-rasa yang lain, seperti senang, kecewa, lega, putus asa dsb. Tinggal bagaimana diri ini pintar menyesuaikan diri tidak hanya dengan keadaan, pun kontrol diri terhadap ekspektasi atau angan yang memang berlebihan. Sehingga biasanya kita menjadi overthinking. Dan kalau sudah seperti itu, biasanya kegelisahan atau kesedihan yang akan menyelimuti hati kita. Kita selalu mengkhawatirkan hal yang buruk atau negatif akan menimpa diri, alhasil ketenangan itu hilang.
Padahal, kemrungsung itu sendiri tidak selalu berkonotasi negatif, sebab tidak selamanya pekerjaan banyak yang harus dikerjakan dalam satu waktu akan menimbulkan keresahan atau sesedihan. Meski terkesan buru-buru, namun rasa kemrungsung itu cenderung membahagiakan. Misalnya saja, pedagang pecel lele yang sedang sepi tiba-tiba kedatangan rombongan. Atau ketika melihat seorang suami yang sedang bekerja tiba-tiba mendapatkan telepon dari istrinya dan memgabarkan bahwa perut besarnya terasa bergejolak.
Jadi, tergantung tombol kemrungsung sebelah mana yang akan kita tekan? Hidup akan selalu melingkupi dua sisi yang tidak pernah bisa kita hindari sebaik apapun rencana yang sudah kita persiapkan. Saat hasilnya baik, itu akan menambah rasa syukur, sekaligus berpotensi menjatuhkan diri dalam kelalaian. Sebaliknya ketika hasilnya buruk, tinggal kita siap atau tidak bertanggung jawab atas resiko yang akan dialami. Karena bisa jadi dari keburukan tersebut, kita justru dibuat ingat dan dijaga dari kelalaian.
Sesungguhnya, apa karena hidup, maka kita jadi kemrungsung? Ataukah karena kemrungsung, kita jadi hidup? Hidup bukan urusan menang-kalah seperti pertarungan UFC yang mana harga dirinya dipertaruhkan. Hidup juga bukan balapan cepat-lambat masuk surga, sebab banyak terdengar info-info manusia yang sudah memesan kavling disana. Hidup itu terkadang santai, kadang juga serba grusa-grusu.
Kita kadang butuh hancur, untuk lahir kembali. Kita sudah sering melewati banyak malam, dan juga banyak menyambut fajar di pagi hari. Untuk berani mlungsungi, tak ayal jika kemrungsung meski dihadapi. Kita harus menghilangkan segala dualisme pikiran, makna, ataupun rasa. Kita terkadang harus menghilangkan ego diri, hingga yang tersisa adalah ketenangan. Sebab, diri telah memasrahkan semua hasil kepada Yang Maha Tunggal.
"Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah, hati menjadi tenteram"(13:28).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H