Hingga ia menemukan bahwa dalam bertahan kita hanya bisa "percaya". Percaya bahwasanya segala sesuatunya meruapakan suatu arena yang mana dirinya sedang mengalami tempaan untuk menjadi bunga yang lebih baik.Â
Sebab, tidak ada satu pun ujian yang diberikan melebihi kemampuannya. Itupun masih banyak diberikan bonus-bonus keindahan yang tidak pernah bunga itu berharap akan bonus keindahan tersebut.
Manusia juga seharusnya demikian. Manusia butuh percaya atau meyakini sesuatu dengan tepat. Jangan asal meletakkan segala sesuatunya atas dasar cinta dan asih saja.
Bukankah akan menyakitkan hati jika kita banyak mengumbar cinta kepada sesuatu, namun nyatanya kita belum bisa percaya kepadanya? Lantas, atas dasar apa kita punya bangunan megah bernama cinta, akan tetapi tak memiliki pondasi kepercayaan?
Semua itu pada akhirnya banyak menyiratkan kabar-kabar baik yang menggembirakan. Kabar yang banyak tersirat dalam perumpamaan-perumpamaan.Â
Baik melalui pandangan, penglihatan, ataupun pendengaran langsung ataupun tidak langsung. Yang mana kita tidak bisa memastikannya, kecuali sebatas meyakini atau percaya kepada apa yang telah didapatkan.
Bukankah guru terbaik itu ada pada pengalaman-pengalaman? Tidakkah bunga-bunga itu hanya sebagian dari banyak sekali bunga yang menyiratkan keindahan dan manfaatnya masing-masing? Yang banyak sekali menyiratkan makna yang banyak menjadi kiasan untuk menjadikan sesuatu indah, bukan?
"Apakah maksud Allah menjadikan ini untuk perumpamaan?". Dengan perumpamaan itu banyak orang yang disesatkan Allah, dan dengan perumpamaan itu (pula) banyak orang yang diberi-Nya petunjuk. Dan tidak ada yang disesatkan Allah kecuali orang-orang yang fasik. (2:26)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H