Mohon tunggu...
Taufan Satyadharma
Taufan Satyadharma Mohon Tunggu... Akuntan - Pencari makna

ABNORMAL | gelandangan

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Menanti Sapaan Fajar

28 Januari 2022   16:23 Diperbarui: 28 Januari 2022   16:30 273
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
unsplash/aziz-acharki

Ketika mendengar kata sebelas, salah satu gambaran spontan yang terpantik dalam pikiran adalah sebuah tim sepakbola. Yang mana masing-masing dari pemain akan mendapati peranan dan fungsi yang sesuai dengan wilayahnya. Tantangannya adalah, bagaimana setiap pemain dengan karakter yang berbeda satu dan yang lainnya sanggup bersinergi untuk memasukkan gol ke gawang lawan?

Satu pemain bintang tidak bisa menjadi jaminan performa tim bisa optimal. Satu atau beberapa pemain yang selalu mengasah keterampilan di dalam pusat pelatihan, juga bukan sebuah kepastian menjadikannya akan tetap setia dan bertahan untuk tetap setia kepada tim. Sebab ketika performa per individu dinilai bagus, akan ada tim scouting dari luar yang memberi tawaran untuk pindah ke tim yang lebih bagus, plus dengan perbedaan gaji yang berlipat-lipat lebih besar. Andaikata itu adalah kita adalah pemain profesional sepakbola, tidakkah tawaran tersebut merupakan suatu hal yang ajaib?

***

Hanya saja, keadaan sebuah tim tersebut adalah suatu refleksi akan gambaran kehidupan kita sebagai manusia yang biasa-biasa saja, yang bermain dalam sebuah tim yang masih menjadi sebuah tanya, "apakah masih layak disebut sebagai sebuah tim?" Bagaimana menjadi sebuah tim jika yang terbangun dalam suatu permainan tidak menunjukkan ada sinergi antara yang satu dengan yang lainnya? Bahkan, tim itu seolah kehilangan motivasi untuk menciptakan gol kemenangan.

Meski dalam kehidupan sehari-hari, utamanya sebagai masyarakat Jawa, sudah dapat dipastikan bahwa tiap hari minimal masing-masing dari kita mendengar kalimat motivasi dan ajakan "hayaa 'alal falah" minimal 15 kali. Tapi apa daya, seolah-olah kita memang ter-setting menjadi orang yang sedang terjebak dalam kubangan summun, bukmun, 'umyun.

Hingga kita tidak sadar masuk dalam perangkap matta'ul ghurur, kesenangan yang memperdaya. Sementara tantangan dalam kehidupan ini sangatlah kompleks, layaknya masuk dalam hutan rimba yang sangat lebat, hingga prediksi ataupun rencana apapun yang dilakukan paling mentok hanya sebatas sebuah keyakinan, tidak bisa mencapai garis kepastian

Dalam kehidupan ini, kita hidup dalam sebuah malam panjang yang tak berbatas. Yang mana kita mesti melakukan suatu inisiasi untuk saling menemani, saling menjaga dari tombak ketidakpastian yang mengancam dari segala penjuru. Tidak bisa kita berjalan sendiri seolah menyombongkan diri. Kita butuh kebersamaan yang dengan sadar kita mengikatkan diri kepadanya.

Untuk menjadi satu tim yang kuat, kita membutuhkan banyak perbedaan. Yang saling mengisi dan menguatkan. Begitu pula dengan kehidupan yang gelap gulita, kita membutuhkan banyak perbedaan bukan untuk berselisih pendapat satu dengan yang lainnya, melainkan perbedaan itu pada akhirnya bisa menjadi pelengkap satu dengan yang lainnya.

Beruntung dalam wilayah ini, kita sudah mengenal Islam dengan kitabNya yang telah dianugerahkan kepada semesta ini untuk digunakan sebagai pedoman. Allah berfirman, "Sesungguhnya agama di sisi Allah adalah Islam. Tiada berselisih orang-orang yang telah diberi Al-Kitab kecuali sesudah datang pengetahuan kepada mereka, karena kedengkian pada diri mereka. Barangsiapa yang ingkar terhadap ayat-ayat Allah maka sesungguhnya Allah sangat cepat hisab-Nya" (Ali-'Imran: 19).

Lantas apa yang akan kita lakukan dalam kebersamaan tersebut? Apakah hanya menanti harap akan kebaikanNya? Atau sebagai hamba yang tahu diri, kita tetap berusaha bergerak dan berusaha memainkan bola, dan mencari letak gawang lawan. Menyongsong suatu kemenangan dan tumbuh mengikuti cahaya-cahaya yang terkandung dalam kegelapan. Menitipkan harap dan ketakutan kepadanya, sembari bersama-sama menanti Fajar yang akan lekas menyapa, meski tak tahu kapan permainan ini akan berakhir. Dengan atau tanpa bisa mengalami sapaan Sang Fajar.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun