Mohon tunggu...
Taufan Satyadharma
Taufan Satyadharma Mohon Tunggu... Penulis - Pencari makna

ABNORMAL | gelandangan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Lunyu-lunyu, Penekno!

19 Januari 2022   17:00 Diperbarui: 19 Januari 2022   17:03 240
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
unsplash/tania-malrechauffe

Ya, siapa yang tidak mengenal lagu Ilir-ilir? Salah satu tembang Jawa yang saya yakini sudah sering kita dengar, yang mana judul tulisan ketidakjelasan ini saya ambil dari salah satu bait tembang Jawa tersebut. Lunyu-lunyu, penekno (meskipun licin, panjatlah)! Dan saya sedikit improvisasi, Masio lunyu, trabaso (meskipun licin, tabraklah)!

Dalam masa kanak-kanak, persepsinya tentang licin mayoritas berhubungan dengan jalanan atau benda-benda yang berpotensi besar membuat jatuh dan sakit. Namun semakin dewasa, cara pandang dan sudut pandang terhadap sesuatu yang licin semakin meluas selaras dengan pengetahuan yang juga semakin besar. Hal-hal yang licin itu bisa dialami di dalam hati ketika suasana hati banyak diliputi kabut angkara, misalnya.

Keadaan yang licin merupakan suatu tantangan yang mana akan menawarkan perubahan dari baik-baik saja menuju keadaan "mungkin" tidak baik-baik saja. Sebut saja ada istilah "uang pelicin", kata tersebut bisa jadi sesuatu yang sering diungkapkan untuk mempermudah urusan seseorang yang sedang terkena masalah. Akan tetapi pertanyaan berikutnya, apakah dengan menggunakan cheat "uang pelicin", maka suasana hati hati menjadi baik-baik saja? Sekalipun itu baik bagi lingkungan sekitar kita, tapi apakah diri kita bisa merasa baik-baik saja?

Banyak sekali hal yang belum kita ketahui daripada yang sudah kita ketahui. Banyak sekali rahasia yang tidak bisa dibuka menggunakan atau logika, sebab ada batas-batas wilayah yang tidak bisa pastikan ketentuannya. Kebaikan dan kebenaran dalam wilayah yang sudah diyakini pun pada akhirnya akan mengalami ujian untuk mengubahnya menjadi naluri kebaikan.

Namun perlu diingat, bahwa semuanya adalah sebuah suatu ahwal atau keadaan diri. Suatu nasihat bijak yang mesti diingat adalah baik dan buruknya seseorang tidak bisa kita nilai begitu saja. Masih ada banyak variabel, seperti hikmah, waktu, ilmu, kesempatan, dll, yang kita tidak bisa pastikan akan berakhir seperti apa. Seseorang yang baik, belum tentu mati dalam keadaan baik, begitupun sebaliknya.

Dan ahwal ini sangatlah licin. Kata-kata seperti "dinamis" hanya seperti bualan bagi mereka yang enggan mengakui kesalahan akan dirinya. Layaknya seorang pengecut yang menghalalkan banyak kalimat kemunafikan. Atau orang yang suka menilai kehidupan, sedangkan yang dilihatnya hanyalah sebatas fatomorgana kehidupan. (Dan ini juga berlaku pada diri saya sendiri)

Bagi seorang 'alim ulama, dalam salah satu khasanah, tertuliskan bahwa seseorang yang memiliki naluri kebaikan akan seperti ikan dalam kolam. Dia akan terjaga dan hanya bisa hidup dalam habitat kolam tersebut. Sedangkan dalam lagu "Ilir-ilir" digambarkan seorang bocah angon, mengapa dirinya harus tetap menaiki pohon belimbing yang licin itu?

Tempat perjuangannya bukan berbatas pada hal-hal baik, tapi juga meliputi ruang-ruang yang sebaliknya. Habitat seseorang seperti ini harus bisa menyesuaikan diri dalam segala bentuk lingkungan beserta cuacanya. Naluri kebaikannya akan sering dihadapkan langsung dengan opportunis-opportunis dengan berbagai senjata penyakit hati, di hutan belantara yang penuh dengan kebuasan-kebuasan pikiran yang siap memangsa diri.

Meskipun ada pilihan orang-orang akan dikumpulkan sesuai dengan tipikal frekuensinya, namun daya angonnya memilih untuk menantang diri untuk terus berupaya menapaki licinnya jalanan yang hendak dilaluinya. Dirinya siap untuk jatuh dan terluka, karena dirinya sadar bahwa sebaik apapun rencana dan kewaspadaan diri yang telah dibangun, tidak ada yang bisa mengubah ketentuan-Nya. Bahkan, dirinya sadar bahwa tiada upaya apapun yang bisa dirinya lakukan, melainkan hanya bagian dari kehendak-Nya.

Cah Angon memanjat derajat kemuliaan, bukan eksistensi kekuasaan. Cah Angon hanya akan terus berjalan menerobos apapun dalam hutan belantara ketidakpastian, bukan untuk mencari apa yang bermanfaat bagi dirinya, kecuali hanya untuk menuntaskan keyakinan dirinya demi menemukan jalan untuk pulang. Dan menatap wajah-Nya. Meskipun jalanannya sangatlah licin dan banyak yang menyesatkan, tapi ia tidak akan berhenti untuk mencai.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun