Jika malam menjadi suatu kata konotasi yang menggambarkan tentang kegelapan perjalanan yang banyak menuai penderitaan. Lalu, bagaimana kita melalui malam-malam tersebut yang tidak mungkin bisa kita mengelak darinya? Akankah kita menanti Fajar tanpa mengetahui apa yang akan ditawarkan olehnya?
Waktu bagai kendaraan yang melaju begitu cepat, namun di sisi sebaliknya, terkadang waktu menjadi kendaraan jadul yang membutuhkan tenaga dan upaya lebih untuk dapat mengambil manfaat darinya untuk membantu kita semua mencapai tujuan. Menurut seorang bijak, waktu bagai dua belah pedang yang berpotensi menjadi bumerang dan melukai diri apabila tidak waspada terhadapnya.
Andaikan cinta selalu memberi bahagia di kedua sisi waktu yang berlawanan, akankah itu menjadi suatu jaminan akan kebahagiaan atas diri kita yang menyatakan cinta? Kalaupun sesorang yang memiliki cinta tidak akan merasa berkorban atas sesuatu yang dicintanya, itu hanyalah suatu pengalih atau penafikan atas sakit atau luka yang sedang dialaminya ketika ia memperjuangkan sesuatu.
Atau dia tidak ingin orang lain mengetahui bahwa cinta tak pernah ingkar membingkai luka, sebab itu menjadi bagian paket bingkisan yang ditawarkan olehnya. Disini, malam-malam akan menjadi perangai yang siap menerka dari segala penjuru untuk membuat diri semakin terjatuh. Oleh karena itu, mungkin salah satu dari imam madzhab membagi waktu malam menjadi 3 bagian, satu waktu untuk ilmu, satu waktu untuk ibadah, dan satu waktu lainnya untuk tidur.
Mungkin saja ketiga bagian itu tidak dibagi secara merata atau dinamis disesuaikan dengan keadaannya. Sampai nantinya kita bisa temukan, betapa segelap apapun temaram yang terkandung dalam malam, akan bisa kita temukan cahaya yang tersembunyi di dalamnya. Tapi, kita akan membutuhkan perjuangan untuk menemukannya. Dan di setiap perjuangan akan selalu ada yang dikorbankan. Mengajarkan derita yang tidak mungkin diri kita bisa menafikannya, kecuali hanya sekedar berpura-pura tidak mengalaminya.
Kita hanya butuh untuk menerimnaya, karena penolakan hanya akan membuang banyak waktu dan energi yang sebenarnya bisa dialihkan untuk keperluan yang lain. Sepeda yang melaju memerlukan roda yang terus berputar dan seimbang, kita tidak bisa hanya diam agar kita tertuju ke arah yang diinginkan. Dan sampai atau tidaknya tujuan itu, bukan urusan kita, kecuali sebatas kesadaran akan upaya yang terus dimaksimalkan.
Seperti yang sudah kita temukan bersama dalam frasa "follow your passion", bahwa passion yang dimaksud bukanlah suatu gairah. Akan tetapi, passion yang dimaksud bisa jadi adalah passionem, yang dalam bahasa latin atau asli katanya memiliki arti penderitaan, ketangguhan terhadap tekanan. Dari sinilah, pengorbanan tiada terasa dalam cinta, sebab bahagialah yang dirasakan oleh sang pencinta.
Jika hidup penuh dengan kiasan dan isyarat-isyaratnya, berarti ada kemungkinan lain malam bisa menjadi siang, dan siang bisa menjadi malam. Cahaya bisa menjadi menifestasi cinta, yang bukan hanya milik siang, namun juga berada di sisi malam. Tidak mungkin ia berpihak pada salah satunya. Oleh karena eksistensinya, maka terciptalah siang dan malam. Apabila kita menanti dan cermati Al-Fajr, Dia berfirman, "Adapun manusia apabila Tuhannya mengujinya lalu dia dimuliakan-Nya dan diberi-Nya kesenangan, maka dia akan berkata: "Tuhanku telah memuliakanku" (89:15)Â
Tapi, apakah benar itu pembelaanmu? Sedangkan dalam ayat berikutnya Dia kembali menegaskan. "Sekali-kali tidak (demikian), sebenarnya kamu tidak memuliakan anak yatim." Kita tidak akan pernah bisa lepas dari ikatanNya, maka dari itu tenanglah! Sekalipun malam-malam banyak mengajarkan ketangguhan dan cara bertahan yang hanya engkau sendiri yang mengetahui jalan terbaik tidak hanya demi melaluinya, namun tinggal untuk menemaninya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H