Di waktu-waktu menjelang pergantian tahun, kita pasti sering mendengar kata-kata refleksi dan resolusi. Di saat itulah, terpantik suatu pertanyaan, "apakah harus menunggu pergantian tahun untuk melakukan refleksi dan resolusi?"
Bisa jadi kita sudah menyepakati bahwa ini sebatas skala waktu yang bergantung pada momentum pergantian tahun. Meskipun seharusnya bisa lebih ditegaskan lagi bahwa dalam satu tahun ada pergantian bulan, hari, jam, dsb. Yang di tiap satuan waktu tersebut, bisa kita tumbuhkan kesadaran untuk berefleksi dan beresolusi.
Kalau dalam istilah jawa mungkin ini bagian dari sanepan agar kita "ngoco (berkaca)" atas segala hal yang telah menjadi suatu pengalaman diri. Sebab, pengalaman adalah guru terbaik dalam kehidupan. Adalah Dia yang mengatur segala sesuatuNya menjadi memori dalam pengalaman yang kelak akan menjadi ilmu paling mutakhir untuk menjadi petunjuk jalan menuju sesuatu yang lebih cerah.
Lalu, kita menjadikannya sebagai resolusi atau perubahan untuk waktu ke depannya. Dengan harapan untuk mendapati sesuatu yang lebih baik. Mesti terkadang dari 100 persen harapan atau keinginan, terpenuhi 5 persennya saja sudah bagus. Seperti pesan dari Mbah, bahwa diri kita ini selalu dikepung oleh malam, yang penuh dengan kegelapan (petheng).
Tapi, karena keadaan itulah kita selalu tertuntun secara naluri untuk menuju sesuatu yang cerah. Berjalan setapak demi setapak, sekalipun dilakukan dengan merangkak, tapi tidak ada yang berjalan menjauhi cahaya. Sebab, tidak ada satu hal pun yang bukan menjadi urusanNya, terlebih Tuhan menegaskan bahwa Diri-Nya sibuk dalam segala urusan.
Tidak ada yang akhirnya tidak berbuah kenikmatan. Rasa manis kenikmatan tersebut bergantung pada seberapa pahit pengalaman yang telah dirasakan. Oleh karenanya, kita selalu dituntut untuk tidak lupa terhadap bagaimana mendapati rasa manis atau kebahagiaan sekalipun dalam hamparan teriknya padang pasir kehidupan ini.
Kembali lagi semua tergantung pada diri, seberapa besarkah etos perujuangan kita dalam skala waktu yang telah disebutkan di atas. Pun dalam setiap lingkungan yang mana diri kita adalah bagian daripadanya. Jangan hanya personalitas diri hanya menjadi faktor pelengkap, sedangkan masing-masing dari kita sudah pasti memiliki keutamaan yang bisa dioptimalkan manfaatnya untuk setiap lingkungan tersebut.
Dan juga jangan dikira bahwa hanya dirimu dan lingkunganmu saja yang ingin bermanfaat, sebab sudah menjadi naluri dari setiap insan sudah pasti ingin menjadi seseorang yang bermanfaat dengan cara dan otentisitasnya msing-masing. Tidak bisa kita generalisasikan cara-cara yang memiliki beribu pintu untuk mendapati kebermanfaatan.
Kita sudah banyak mendapat bekal untuk kembali mempelajari sifat shiddiq, amanah, tabligh, dan juga fathonah. Kita juga sudah mendapati algoritma utama untuk menjadikan sifat tidak tega sebagai ghirrah-nya jiwa kita dalam meneruskan cinta dan asih (mengkhalifahi) kehidupan. Hingga kita benar-benar mengerti dan merasa telah menjadi salah satu peran penting dari pementasan utama dalam sandiwara kehidupan.
Kita memiliki panggung yang hanya dimengerti oleh diri kita sendiri. Kita adalah tokoh utama dalam cerita kehidupan kita sendiri. Yang mana kita diberikan kebebasan untuk mengaplikasikan segala proses kemandirian dalam cara pandang dan cara berpikir agar terus berevolusi menjadi versi terbaik bagi diri kita sendiri.