Mohon tunggu...
Taufan Satyadharma
Taufan Satyadharma Mohon Tunggu... Akuntan - Pencari makna

ABNORMAL | gelandangan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

"Ibu, Sediakah Engkau Membalas Rinduku? Sesempatmu Saja"

22 Desember 2021   16:01 Diperbarui: 22 Desember 2021   16:16 69
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
unsplash/tyler-morgan

Hari ini merupakan hari ibu yang sangat spesial bagi banyak orang. Beranda-beranda media sosial penuh dengan kata-kata mutiara tentang sosok ibu. Pun dengan ungkapan-ungkapan perasaan seseorang kepada ibunya yang begitu indah. Semua hal itu mengingatkan tentang begitu pentingnya sosok seorang ibu bagi siapapun saja.

"Ibumu, ibumu, ibumu!", sebuah petuah sederhana yang mengandung berjuta makna. Pengulangan kata yang sama menjadi pertanda sekaligus penegasan akan sosok yang tidak mungkin akan bisa tergantikan. Atau jargon "surga berada di telapak kaki ibu.", juga menjadi salah satu kalimat kiasan favorit yang tidak perlu pembuktian secara sains.

Surga itu tidak lantas seorang ibu berkuasa penuh kepada anaknya, melainkan dikarenakan amanat yang tertuju kepada sesosok ibu yang wajib mensorgakan kehidupan anak-anaknya. Sebab, neraka juga mencadi ancaman jika ingkar akan kewajiban tersebut. Menariknya, cinta seorang anak kepada ibunya tak hanya berbatas iming-iming surga atau neraka. Melebihi itu.

Surga bisa dibakar dengan gelora asa dan pembuktian, atau neraka yang apinya juga bisa dipadamkan dengan ketulusan dan keikhlasan. Peran ibu acapkali menjadi kunci "berhasil"-nya seseorang atas restu-restu yang diberikan olehnya. Dan sebaliknya, "kesialan" menjadi kutukan atas hal-hal yang sesungguhnya seorang ibu tidak rela atas apa yang anaknya lakukan.

Sayangnya, ibu tidak bisa selamanya memenuhi keindahan dalam perjalanan ini. Terkadang, tak semua perempuan ingin menjadi ibu, dan tak semua wanita memahami peran sebagaimana sesosok ibu. Padahal mungkin saja banyak saudara-saudara kita diluar sana yang tidak memiliki kesempatan untuk merasakan kehangatan kasih sayang ibu, sebagaimana romantisasi kisah ibu pada umumnya.

Tapi begitulah hidup, banyak spektrum dan rona dalam satu kata bernama ibu. Yang masing-masing dari kita pasti memiliki kesan cerita dan kenangannya sendiri. Yang melahirkan kedalaman dan kekuatan dari hasil sebuah hubungan cinta yang sulit untuk tergantikan, atau sekalipun hanya untuk dilepaskan, sebab tidak ada apapun yang mampu membawa kebersamaan menuju keabadian, kecuali oleh ikatan tersebut.

Yang masih sehat, kita upayakan untuk memberinya kebahagiaan. Ketika sakit, sebisa mungkin kita luangkan banyak waktu untuk merawatnya. Dan ketika suatu saat ibu tiada, teruslah berusaha untuk masuk ke dalam wilayah orang-orang yang sholeh. Sebab hanya dengan itu, amalan kebaikanmu terhadap ibu akan selalu bisa dirasakan oleh beliau.

Jangan sampai lengah oleh putaran waktu yang lambat laun membuat diri lupa kepada ibu. Bahkan, kepada nama-nama baru yang akan banyak engkau temui sepanjang perjalanan ini. Ibu selalu menanti dengan penuh kecemasan atas nasib anaknya yang masih berkeliaran bebas di muka bumi.  Dengan penuh kekhawatiran dan tanya, "akankah kelak kami aka dipertemukan kembali?"

Di zaman ini, banyak ibu yang habis waktunya untuk ikut mencurahkan keringat dan lelahnya demi penghidupan anak-anak mereka. Tak henti-hentinya para ibu itu berjuang untuk mengasuh dan menjaga demi keselamatan ataupun rasa aman atas buah hatinya. Bahkan, ibu-ibu itu rela "menjual diri" agar hargi diri atau martabat anak-anaknya tak begitu direndahkan oleh orang lain.

Secara identitas, ibu kita satu. Akan tetapi secara personalitas, kita semua memiliki unsur intuitif dan juga potensi sifat yang sama sebagai sosok ibu. Hingga ibu-ibu peradaban itu tidak hanya satu dan terus lahir di setiap generasi yang diasuhnya. Kematian identitas mustahil dapat digantikan, akan tetapi kematian personalitas sesosok ibu, masih memungkinkan akan tergantikan atas lahirnya seribu ibu-ibu yang baru. Meskipun seribu itu tetap berhulu dan menjadi manifestasi dari satu akar cinta yang sama dengan ikatan keabadian kepada satu sosok ibu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun