Mohon tunggu...
Taufan Satyadharma
Taufan Satyadharma Mohon Tunggu... Akuntan - Pencari makna

ABNORMAL | gelandangan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Tujuan Kerinduan yang Sama

11 November 2021   16:04 Diperbarui: 11 November 2021   16:09 32
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bagaimana mungkin rasa rindu padamu membiarkan diri ini pergi? Meskipun rasa itu mengikat seperti belenggu, namun karenanya semua terwujud menjadi syukur. Sebab, hanya kebaikan yang akhirnya didapatkan, sekalipun segala letih dan ketakutan tak pernah bisa pergi selama perjalanan sebelum mencapai keindahan itu. Tidakkah engkau melihat, bagaimana sekuntum mawar nan cantik itu sanggup memikat di antara duri yang begitu tajam?

Mungkin saja kita hanya ikan-ikan yang sibuk mencari makan di samudera kehidupan yang luas, namun suatu waktu memakan makanan yang telah dipasangi kail. Awalnya diri merasa tertipu hingga berusaha untuk lepas dari jeratan itu. Kail yang merobek mulut menyebabkan darah terkucur. Diri bergerak mengerahkan segala kemampuan untuk terlepas. Hingga secara berangsur tak terasa diri mulai lemas, dan Si Pemancing mulai menarik secara perlahan.

Akan tetapi, bagaimana kalau jerat itu merupakan kail cinta yang sengaja diperuntukkan untuk hamba-hambaNya yang akan dinaikkan ke dalam dekapan perahu asih-Nya? Tidakkah perasaan tertipu itu akan sekejap berubah menjadi sebuah kepercayaan? Tapi semua itu hanya akan terjadi setelah pengorbanan dan perjuangan telah banyak dilalui. Bahkan mesti merasakan kekalahan diri atas segala keyakinan yang sebelumnya mati-matian dipertahankan.

Kita harus kembali mencermati bagaimana kail itu ditarik secara perlahan dan bertahap. Kita seolah sengaja dibuat lelah hingga terluka akibat perbuatan kita sendiri.

Dalam salah satu kitab, keadaan seperti ini digambarkan dengan sebuah pernyataan seseorang kepada Kanjeng Nabi, "Ya Muhammad, cabutlah agamaku, karena aku tidak menemukan kedamaian." Kemudian Sang Rasul menjawab, "Bagaimana mungkin agama ini membiarkan seseorang lepas sebelum membawanya ke tujuan?"

Semua ini bukan berarti sebuah ajakan untuk mendapatkan segala penderitaan ataupun rasa sakit yang sama. Masing-masing memiliki batasan dan juga limitasi cara bertahan yang berbeda. Terlebih jika mesti berhadapan dengan senyuman itu, tidak mungkin diri memberkian balasan suatu kejujuran dengan diri yang meronta-ronta penuh luka ataupun peluh, kecuali rona kebahagiaan yang hampir sama.

Namun, akankah itu akan menjadi sebab atas datangnya suatu hukuman atas kelalaian dan kedholiman diri? Layaknya awan yang menaungi Suku Madyan kala itu, nan keteduhan dan kesejukannya dikira akan mendatangkan hujan, nyatanya hanya akan menjadi tambahan azab dengan gelombang panasnya. Akankah kerinduan itu begitu saja akan melepaskan diri kita sebelum sampai ke tujuan?

Kasih, diri telah mendapat peringatan untuk tidak pernah memaksakan sesuatu yang pada akhirnya hanya akan mendatangkan kekecewaan. Sebab jiwa atau diri kita ini hanya menjadi rumah bagi harapan dan juga segala ketakutan. Maka, seharusnya diri atau mungkin seluruh manusia hanya diperintahkan untuk meletakkan anak panah pada busurnya. Bukan, lantas menarik anak penuh tersebut sesuai kehendaknya. Sekalipun target bidikan kita adalah kebaikan, namun jangan sekali-kali kita biarkan kehendak diri menguasai, kalau tidak ingin suatu saat keputusasaan datang menyapa.

Tapi, bukan manusia kalau tidak berputus-asa. Bagaimana mungkin kita tidak berputus-asa ketika diri banyak dikecam oleh segala bentuk kehendak? Lalu, adakah kabar dengan kedamaian? Yang hampir terlupakan karena sapaannya yang terasa seperti kilat di antara gemuruh mendung keputusasaan.

Kasih, baik segala kejadian saat ini ataupun kelak yang masih belum kita ketahui, pada akhirnya akan membawa kita pada tujuan yang sama. Hanya saja, perjalanan ini takkan pernah terselesaikan tanpa adanya perjuangan yang banyak mendatangkan penderitaan bagimu. Maka terimalah, dan bersiaplah! Kalau tidak ingin semua itu menjadi sia-sia.

Tenanglah, diri ini tidak akan membiarkan kabut mendung kegelisahan itu mengaburkan cahaya senyummu. Menuju keabadian bersama.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun