Mohon tunggu...
Taufan Satyadharma
Taufan Satyadharma Mohon Tunggu... Akuntan - Pencari makna

ABNORMAL | gelandangan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Merawat Dekap Anganmu

1 November 2021   16:09 Diperbarui: 1 November 2021   16:53 135
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Diri ini tak akan pernah berhenti menyesal. Selalu saja ada hal yang membuat kesabaran itu lepas, bukan oleh sebab apapun, melainkan diri yang rela menjadi tawanan keinginan. Tapi dari keadaan itulah pada akhirnya kita mengenal sepercik hasrat yang menjadi api dan bisa kapan saja bisa membakar sangkar yang sedang engkau huni.

Pernah diri ini percaya bahwa apa yang dilakukan bisa memberi pengaruh dan harapan tentang kebaikan. Di saat yang sama, apa yang dipikirkan tersebut justru menjadi celah yang bisa membawa diri ke tujuan yang sebaliknya. Mengapa? Karena segala yang ditahan atau dilarang justru semakin menguatkan hasrat, layaknya menyiram api dengan minyak tanah.

Karena ada sesuatu yang bergejolak dan tidak terkontrol, maka kita harus berlatih menahan diri. Kita tidak akan pernah mungkin bisa menghilangkannya. Kita tidak akan mungkin bisa menghentikan laju pertumbuhan rumput hanya dengan menghilangkan bagian yang tampak dari pandangan. Sebab masih ada akar yang akan menjadikannya tumbuh kembali.

Terkecuali kalau kita hanya ingin menghabiskan waktu dan energi untuk memangkas rumput, daripada memilih untu mencabut sampai ke akarnya, sekalipun membutuhkan upaya yang lebih. Begitu pula dengan apa yang menjadi segala gundah itu melanda, kita hanya sibuk untuk menghilangkannya dan ingin segera menggantinya, akan tetapi lupa kalau masih ada akar atau sebab yang suatu saat akan menumbuhkan sesal itu kembali datang.

Dan hal itu mungkin akan membutuhkan satu  waktu dalam kesempatan hidup yang sedang diberikan. Oleh karena itu, mungkin diri terlalu egois dan sibuk mengurus dirinya sendiri. Daripada mencoba untuk memberi keyakinan kepada orang lain untuk segera kembali ke jalan yang dianggap benar. Saya sendiri tidak akan pernah memaksakan apa yang saya pikirkan untuk diterima olehmu, dan saya hanya akan terus belajar untuk bagaimana bersikap "baik" tidak hanya kepadamu, tapi semuanya.

Mungkin saja jalan itu akan nampak konyol, sebab hanya akan ada luka yang mesti ditahan. Namun saat itu hanya teringat sebuah ajarannya, tentang antisipasi tergadap kecemburuan bahkan juga fitnah. Maksudnya, kita mesti sanggup menahan segala kesewenangan ataupun kesedihan yang disebabkan oleh manusia. Kalau tidak, engkau mesti menggunakan cara yang lain, yakni menahan diri dalam kesunyian dan godaan yang selalu saja menyeruak untuk dilawan.

Pada akhirnya, kita hanya menyadari bahwa bukan diri kitalah yang sanggup bertahan, tetapi oleh sebab lukalah pada akhirnya kita mampu bertahan. Buat apa juga kita mesti angkuh terhadap upaya, kalau segala daya bukanlah berasal dari diri kita. Biarkan saja kesabaran menjadi layar perahu kita mengarungi lautan kehidupan, sampai kelak kita mendapati apapun tujuan yang dikehendaki oleh semilir anginnya.

Bila engkau datang aku akan menyerah dalam pengaruhmu. Dan aku akan tunduk pada ketidakjelasan yang selalu engkau tawarkan. Atau mungkin saja aku biarkan engkau memanfaatkanku. Aku tidak akan merubah apapun pandangan yang engkau inginkan dariku, wahai kekasih. Sebab aku akan menjadikan itu sebagai kesempatan bukan untuk menunjukkanmu kebajikan, namun itu menjadi kesempatanku untuk melatih kemampuan bertahanku. Itu akan menjadi tempat untuk memperbaiki kualitas cintaku.

Denganmu, adalah keniscayaan. Namun bersamamu, merupakan suatu keyakinan. Bahwa tiada angan yang dihadirkan di antara kemerdekaan pikiran yang tak terikat dengan makna diri. Terlebih jika ia datang menawarkan sebuah senyuman ataupun dekap kehangatan bagai akar yang tak nampak oleh pandangan. Lalu, tidakkah seharusnya aku merawat dekap anganmu, kasih?

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun