Maka, cahaya itu akan menawarkan satu evolusi penglihatan dan melahirkan cara pandang yang baru. Dengannya, akan engkau temui hakim baru yang lebih bijaksana dari sebelumnya. Akan engkau dapati perhitungan dan penilaian baru setelah cahaya itu menembus tabir diri yang selama ini menjadi penghalang bagi penglihatan.
Mungkin saja, jika suatu waktu terbesit tanya, "perasaan seperti apakah yang engkau cipta, hingga begitu mencintaku? Sementara aku tidak begitu merasakannya, sebab tidak ada suatu hal apapun yang selama ini engkau lakukan kepadaku, meski sekedar sapa. Jadi, tidak ada alasan bagiku untuk menaruh perhatian kepadamu."
Apakah di setiap sebab, harus tertanggung segala akibat? Apakah segala yang tertunaikan, harus ada pengembalian?
Jika menjadi hamba yang melayani sepercik Rahman Rahim yang menjadi tamu bagi hati, menjadi buah cinta atupun kerinduan, dan bermanifestasi ke dalam wujud-wujud yang menjadi kehendaknya, bukankah itu sudah lebih cukup?Â
Kita dipercaya dan diamanahi rasa pada akhirnya hanya untuk menyampaikan, bukan untuk menagih rasa yang lain, apalagi berharap terhadap sesama makhluk.
Mayoritas jika harapan itu banyak digantungkan kepada sesama, maka siap-siaplah kita akan banyak menemui kekecewaan. Dan jika itu terjadi, bukan berarti apa yang ada di luar diri yang tidak sanggup memenuhi ekspektasi, melainkan harapan yang berasal dari dalam diri.Â
Karena harapan itu sendiri berbanding lurus dengan rasa takut. Semakin besar kita menaruh harapan pada sesuatu, maka semakin besar pula kita terhadap sesuatu tersebut.
Cahaya itu mengenalkan tidak hanya bagian luar, namun juga mampu menerawang masuk ke dalam isi. Kulit dan isi merupakan satu bagian yang tidak bisa kita mengambil salah satunya, karena masing-masing juga memiliki fungsi dengan prinsip pemanfaatan yang sama. Kita tidak akan pernah bisa melihat benih itu akan tumbuh dari sebuah biji yang telah dikelupas kulitnya.
Sama halnya dengan selama ini tersembunyi dalam isi, pada akhirnya akan terepresentasikan melalui tingkah lakunya. Ketika kita kecil hal itu akan mudah kentara, namun ketika mulai beranjank dewasa, kita secara otomatis akan semakin pintar bersandiwara atas apa yang sesungguhnya tersembunyi dalam hati, hingga memanipulasi tingkah laku agar tidak mudah kentara.
Mungkin saja cita-cita itu terlalu mulia, dengan terus menganggap rendah diri. Atau dengan ketidaksempurnaan yang dirasa tidak pantas jika meski disandingkan dengan sesuatu yang lebih sempurna. Sebab diri masih banyak membutuhkan perbaikan karena panjangnya jalan yang mesti dilalui.Â