Nanggung lho ya, bukan panggung. Kalau panggung jelas, tipikal manusia ini memiliki kebiasaan berada di atas panggung, karena kepiawaiannya dalam hal-hal tertentu yang telah disepakati, atau karena egonya yang membawanya --sadar atau tidak sadar--- ingin berada di panggung. Dan sekurang-kurangnya mendapati jatah untuk dipanggungkan.
Tapi kali ini adalah nanggung. Kalau dalam istilah jawa, nanggung itu setengah-setengah. Seolah-olah yang ada di pikiran maju kena, mundur pun kena. Padahal, melakukan saja belum. Kenapa bisa seperti itu? Yang pasti utamaya adalah terpeliharanya keraguan akan dirinya sendiri. Meskipun sudah dilakukan, hasil tidak pernah sesuai ekspektasi atau bahkan tidak pernah diselesaikan.
Kalau saya menuliskan sesuatu tentang nanggung, bukan berarti saya bisa menyelesaikan segala hal yang saya mulai. Dalam beberapa aspek, hingga sekarang masih ada juga respon terkait hal yang pernah saya lakukan, biasanya berbunyi, "padahal nanggung, kurang sithik meneh." Ya, tinggal sedikit lagi. Namun, hal itu sebenarnya bukan berada di wilayah penilaian. Karena hasilnya sudah jelas dan waktu tidak bisa diulang kembali.
Dan saya yakin, segala sesuatu yang sudah dilalui dan yang tidak terselesaikan pasti sudah melalui banyak pertimbangan keputusan. Oleh siapapun saja yang tidak menyelesaikannya. Pasti ada hal-hal yang lebih prioritas yang pada akhirnya memilih untuk meninggalkan sesuatu demi melakukan hal penting lainnya. Tubuh kita memiliki limitasi yang mustahil segala sesuatunya dapat terselesaikan dengan sempurna.
Lain halnya jika "nanggung" ini menjadi dalih yang biasanya menjadi kebiasaan menunda-nunda suatu pekerjaan karena sibuk oleh hal yang lebih mengasyikkan. "sek sedilit meneh, nanggung." Kelemahan kita memang kecenderungan memilih sesuatu hal yang membuat nyaman dan santai daripada membuang hal yang sifatnya banyak mengeluarkan energi dan pikiran. Padahal, kalau kelemahan ini biasa kita rawat dan menjadi kebiasaan. Tentu kita berpotensi banyak mengalami kerugian. Atau jangan sampai kita masuk ke dalam kubangan golongan "orang-orang yang rugi".
Lalu, kita banyak mengeluhkan tentang segala hal yang seharusnya bisa kita rubah andaikata kita mau menyegerakan suatu hal yang banyak tertunda. Kita seharusnya mampu merubah keadaan apabila kita mau memulainya dari diri sendiri. Bukan malah banyak mencari-cari sebab di luar diri kita. Bukan mencari-cari kesalahan dari apa yang orang lain lakukan. Apa diri kita begitu baik dan bijak, sehingga kita bisa memberi penilaian seperti itu?
Sedangkan kalau kita mau meniti diri sendiri, sudah pasti banyak hal-hal yang terabaikan. Contoh mudahnya apabila kita seorang muslim, apabila mendengar panggilan adzan "hayya 'alal falah", mari menuju kemenangan, kita sering dalam hati berkata "sebentar ah, nanggung." Kurang baik apa coba Dia menawarkan kemenangan, tapi ternyata kita sendiri yang enggan diajak untuk lekas mendapati kemenangan tersebut.
Jangan lantas memberi pembenaran kepada diri sendiri, "sudah mau melakukan saja sudah bagus"atau "sudah terbesit niat untuk segera melakukan saja sudah baik". Seolah-olah tidak ada Yang Maha Melihat atas segala sesuatu yang sedang kita lakukan. Itu baru dalam suatu wilayah kewajiban, belum lagi dalam berbagai wilayah kehidupan yang bersifat wajib baik bagi diri sendiri maupun terhadap lingkungan.
Kita sering berekspektasi untuk mampu melakukan hal secara optimal dan maksimal. Namun tidak sadar segala sesuatunya terhambat kata nanggung, penuh keraguan, dan terlalu banyak pertimbangan. Alhasil, niat yang terbentuk pun blawur atau samar-samar. Malaikat pun mungkin bingung membaca segala kehendak niat yang ada pada diri. Mau dibantu, tapi niatnya tidak jelas. Daripada tidak kebeneran, ya akhirnya mung disawang aja oleh para tangan kanan Tuhan tersebut.
Dan memang nuansa kenanggungan ini menjadi sebuah tontonan yang menggelitik. Apalagi kalau sudah lempar-lemparan kesalahan akibat hasil yang tidak sesuai dengan yang diharapkan. Ah, dasar manusia kok "nanggung"!